Hak cipta merupakan salah satu aspek penting dalam kekayaan intelektual yang memberikan perlindungan kepada pencipta atas karya orisinalnya. Dalam praktiknya, sengketa hak ciptta kerap terjadi, baik antar individu, perusahaan, atau institusi. Perselisihan ini dapat timbul karena berbagai faktor, seperti penggunaan karya tanpa izin, pelanggaran kontrak lisensi, atau pun mengenai tarif dalam penarikan imbalan atau royalti. 

Untuk menyelesaikan perselisihan hak cipta, pemerintah Indonesia telah menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa, baik secara litigasi maupun non-litigasi. Proses hukum dalam sengketa hak cipta biasanya mencakup beberapa tahap dan pendekatan, yang bertujuan untuk menegakkan hak-hak kekayaan intelektual berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.

Upaya Penyelesaian Sengketa Hak Cipta

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU HC”) menjadi dasar hukum yang mengatur terkait penyelesaian sengketa hak cipta. Bentuk sengketa hak cipta yang dijabarkan dalam penjelasan pada Pasal 95 ayat (1) UU HC, di antaranya:

  1. Sengketa berupa perbuatan melawan hukum;
  2. Perjanjian lisensi; dan
  3. Sengketa mengenai tarif dalam penarikan imbalan atau royalti. 

UU HC menawarkan sejumlah mekanisme penyelesaian sengketa hak cipta yang diatur dalam Pasal 95 ayat (1), bahwa, “Penyelesaian sengketa hak cipta dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase, atau pengadilan.” Alternatif penyelesaian sengketa yang dimaksud adalah melalui mediasi, negosiasi, atau konsiliasi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altenatif Penyelesaian Sengketa (“UU 30/1999”). 

Lebih lanjut dalam Pasal 95 ayat (2) dan (3) UU HC menjelaskan bahwa pengadilan yang dapat menyelesaikan permasalahan sengketa hak cipta adalah :

(2) Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah Pengadilan Niaga;

(3) Pengadilan lainnya selain Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud ayat (2) tidak berwenang menangani penyelesaian sengketa hak cipta.

Yang dimaksud dengan pengadilan niaga menurut Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”) adalah pengadilan khusus yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. 

Namun dalam konteks hukum hak cipta di Indonesia, jika terjadi pelanggaran hak cipta, maka perlu mengambil langkah mediasi sebelum menempuh jalur pengadilan, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 95 ayat (4) UU Hak Cipta:

“Selain pelanggaran hak cipta dan/atau hak terkait dalam bentuk pembajakan, sepanjang para pihak yang bersengketa diketahui keberadaannya dan/atau berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus menempuh terlebih dahulu penyelesaian sengketa melalui mediasi sebelum melakukan tuntutan pidana.”

Tata Cara Gugatan Pengadilan

Ketika penyelesaian non-litigasi tidak membuahkan hasil, gugatan hak cipta dapat diajukan ke pengadilan. Berdasarkan UU Hak Cipta, terdapat beberapa prosedur yang harus diikuti dalam mengajukan gugatan hak cipta. 

Langkah pertama dalam pengajuan gugatan adalah menentukan yurisdiksi yang tepat. Gugatan terkait hak cipta harus diajukan ke Pengadilan Niaga yang memiliki kewenangan untuk menangani perkara kekayaan intelektual. Pihak yang menggugat harus menyusun surat gugatan yang memuat identitas para pihak, dasar hukum gugatan, fakta-fakta yang mendukung klaim, serta tuntutan yang diajukan kepada pengadilan. 

Lebih lanjut UU HC melalui Pasal 100 mengatur tata cara gugatan di antaranya sebagai berikut:

  1. Gugatan atas pelanggaran hak cipta diajukan kepada ketua Pengadilan Niaga;
  2. Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat oleh panitera Pengadilan Niaga dalam register perkara pengadilan pada tanggal gugatan tersebut didaftarkan;
  3. Panitera Pengadilan Niaga memberikan tanda terima yang telah ditandatangani pada tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran;
  4. Panitera Pengadilan Niaga menyampaikan permohonan gugatan kepada ketua Pengadilan Niaga dalam waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal gugatan didaftarkan;
  5. Dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak gugatan didaftarkan, Pengadilan Niaga menetapkan hari sidang;
  6. Pemberitahuan dan pemanggilan para pihak dilakukan oleh juru sita dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak gugatan didaftarkan.

Selanjutnya dalam Pasal 101 UU HC mengatur:

  1. Putusan atas gugatan harus diucapkan paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak gugatan didaftarkan;
  2. Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipenuhi, atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung jangka waktu tersebut dapat diperpanjang selama 30 (tiga puluh) hari;
  3. Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum;
  4. Putusan Pengadilan niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disampaikan oleh juru sita kepada para pihak paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak putusan diucapkan. 

Pengadilan memiliki wewenang untuk menjatuhkan putusan yang dapat berupa ganti rugi, perintah penghentian penggunaan karya, atau pun tindakan lain yang dianggap adil sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Jika salah satu pihak tidak puas dengan putusan pengadilan niaga, maka dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung untuk memperoleh peninjauan ulang atas putusan tersebut. 

Baca juga: Memahami Hak Cipta Buku, Bagaimana Aturan Lisensi Karya Tulis?

Mitigasi Risiko Sengketa Hak Cipta

Sengketa hak cipta bisa berdampak serius, baik dari segi finansial atau pun reputasi. Oleh karenanya, penting bagi pemilik atau pemegang hak cipta untuk mengambil langkah-langkah preventif guna mengurangi risiko perselisihan di masa depan. Beberapa strategi mitigasi yang dapat diterapkan di antaranya:

  • Pendaftaran hak cipta

Hak cipta secara otomatis melekat pada pencipta setelah karya diciptakan, namun mendaftarkan hak cipta ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) memberikan keuntungan hukum yang signifikan. Dengan adanya sertifikat pendaftaran, pemegang hak memiliki bukti konkret kepemilikan yang dapat digunakan dalam perselisihan hukum.

  • Pembuatan kontrak awal

Kontrak atau perjanjian tertulis sangat penting dalam menghindari sengketa, terutama dalam hal lisensi, kerja sama, atau transfer hak cipta. Kontrak harus mencantumkan secara jelas hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk ruang lingkup penggunaan karya, durasi perjanjian, dan konsekuensi hukum jika terjadi pelanggaran.

  • Melakukan due diligence sebelum menggunakan karya pihak lain

Sebelum menggunakan karya yang dibuat oleh pihak lain, penting untuk memastikan bahwa penggunaannya telah mendapatkan izin yang sesuai. Ini bisa dilakukan dengan menelusuri kepemilikan hak cipta atau berkonsultasi dengan profesional hukum untuk memastikan tidak ada pelanggaran.

  • Menggunakan mekanisme digital untuk perlindungan hak cipta

Teknologi dapat dimanfaatkan untuk melindungi hak cipta, seperti penggunaan watermark digital, enkripsi, atau teknologi blockchain untuk mencatat kepemilikan hak cipta secara transparan dan permanen.

  • Mengedukasi pentingnya hak cipta

Banyak sengketa hak cipta terjadi akibat ketidaktahuan mengenai hukum hak cipta. Oleh karena itu, pemegang hak cipta perlu mengedukasi tim internal, klien, atau mitra bisnis mereka mengenai pentingnya kepatuhan terhadap hak cipta.

Hak cipta merupakan aset berharga yang perlu dilindungi dengan semestinya. Untuk menghindari potensi sengketa dan memastikan hak pencipta atau pemegang hak cipta terlindungi secara hukum, diperlukan langkah-langkah preventif yang harus diterapkan sejak awal.***

Baca juga: Hak Cipta sebagai Tameng Perlindungan Karya Sastra

Amankan Hak Cipta, Cegah Sengketa.

Konsultasikan Perlindungan Hak Cipta Karyamu Bersama Konsultan Berpengalaman di SIP-R Consultant! 

Daftar Hukum:

Translate »
× Konsultasi Sekarang