Hak Kekayaan Intelektual (HKI) berperan sebagai bentuk penghormatan terhadap kemampuan manusia dalam mencipta dan berinovasi. Melalui kerangka hukum yang ada, HKI memberikan perlindungan terhadap berbagai hasil karya di bidang seni, ilmu pengetahuan, teknologi, hingga inovasi berbasis kreativitas. Perlindungan ini bukan hanya mencerminkan keadilan bagi pencipta, tetapi juga mendorong terciptanya ekosistem pendidikan yang menghargai orisinalitas dan kontribusi intelektual. Dalam dunia pendidikan, peran HKI semakin relevan seiring dengan meningkatnya penggunaan bahan ajar, modul, dan konten multimedia yang merupakan hasil karya cipta. 

Di tengah upaya memperluas akses pendidikan, penting untuk memahami bagaimana aturan hukum mengenai hak cipta dapat diimplementasikan tanpa menghambat proses belajar-mengajar. Pemerintah Indonesia melalui regulasi hak cipta memberikan ruang tertentu bagi sektor pendidikan untuk menggunakan karya cipta tanpa melanggar hukum. Melalui artikel ini, SIP-R Consultant akan membahas terkait dengan ruang gerak penggunaan karya berhak cipta dalam institusi pendidikan dan batasannya agar pemanfaatannya tetap berada dalam koridor hukum.

Pengecualian Hak Cipta untuk Kepentingan Pendidikan

Pasal 44 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”) menetapkan bahwa penggunaan karya cipta untuk pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, dan laporan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta, selama tidak merugikan kepentingan wajar pencipta atau pemegang hak cipta. Ketentuan ini memberikan keleluasaan bagi tenaga pendidik dan pengajar untuk mengutip, mengadaptasi, atau menggunakan karya cipta dalam lingkup terbatas untuk tujuan edukatif. 

Penggunaan karya yang dilindungi hak cipta dalam konteks pembelajaran atau penelitian diperbolehkan dilakukan tanpa izin jika sumber dicantumkan secara lengkap dan tidak merugikan kepentingan pencipta secara tidak wajar. Prinsip fair use ini menyeimbangkan hak pencipta dan kebutuhan publik akademik. Menurut Sudjana dilansir dari laman HukumOnline, fair use merupakan suatu hak istimewa bagi pihak-pihak selain pencipta dan pemegang hak cipta untuk menggunakan objek hak cipta dengan cara yang wajar tanpa persetujuannya, meskipun terdapat monopoli yang diberikan kepada pemilik oleh hak cipta.

Dengan kata lain, penggunaan terbatas terhadap karya cipta dapat dibenarkan secara hukum selama dilakukan dalam batas yang wajar, tidak merugikan pemilik hak, serta memenuhi tujuan yang sah seperti edukasi dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penerapan prinsip ini perlu memperhatikan konteks, intensitas penggunaan, serta dampaknya terhadap nilai komersial dari karya tersebut agar tidak berujung pada pelanggaran hukum.

Selain pemberian hak istimewa untuk kepentingan pembelajaran melalui prinsip fair use, UU Hak Cipta juga secara khusus mengatur mengenai penggandaan buku oleh perpustakaan yang termuat dalam Pasal 47, bahwa:

Setiap perpustakaan atau lembaga arsip yang tidak bertujuan komersial dapat membuat 1 (satu) salinan Ciptaan atau bagian Ciptaan tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dengan cara:

  • Penggandaan tulisan secara reprografi yang telah dilakukan Pengumuman, diringkas, atau dirangkum untuk memenuhi permintaan seseorang dengan syarat:
    • perpustakaan atau lembaga arsip menjamin bahwa salinan tersebut hanya akan digunakan untuk tujuan pendidikan atau penelitian;
    • Penggandaan tersebut dilakukan secara terpisah dan jika dilakukan secara berulang, Penggandaan tersebut harus merupakan kejadian yang tidak saling berhubungan; dan
    • tidak ada Lisensi yang ditawarkan oleh Lembaga Manajemen Kolektif kepada perpustakaan atau lembaga arsip sehubungan dengan bagian yang digandakan.
  • Pembuatan salinan dilakukan untuk pemeliharaan, penggantian salinan yang diperlukan, atau penggantian salinan dalam hal salinan hilang, rusak, atau musnah dari koleksi permanen di perpustakaan atau lembaga arsip dengan syarat:
    • perpustakaan atau lembaga arsip tidak mungkin memperoleh salinan dalam kondisi wajar; atau
    • pembuatan salinan tersebut dilakukan secara terpisah atau jika dilakukan secara berulang, pembuatan salinan tersebut harus merupakan kejadian yang tidak saling berhubungan.
  • Pembuatan salinan dimaksudkan untuk Komunikasi atau pertukaran informasi antarperpustakaan, antarlembaga arsip, serta antar perpustakaan dan lembaga arsip. 

Ketentuan ini memberikan kewenangan kepada perpustakaan, lembaga pendidikan, arsip, dan museum untuk melakukan penggandaan karya cipta dalam jumlah terbatas dengan tujuan pelestarian dan pengamanan. Penggandaan tersebut tidak dimaksudkan untuk kepentingan komersial, melainkan sebagai upaya menjaga agar karya intelektual tetap dapat diakses oleh publik, terutama apabila karya tersebut sudah langka atau tidak lagi tersedia di pasaran. 

Akan tetapi, pelaksanaannya harus tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian agar tidak merugikan kepentingan pencipta atau pemegang hak cipta. Ketentuan ini menunjukkan bahwa hukum hak cipta di Indonesia berusaha menyeimbangkan antara perlindungan hak eksklusif pencipta dan kebutuhan masyarakat terhadap akses informasi dan pelestarian pengetahuan.

Baca juga: Mengupas Kasus Pelanggaran Hak Cipta di Indonesia dan Dampak Hukumnya

Batasan Penggandaan dan Distribusi Materi Berhak Cipta di Lingkungan Akademik

Penggandaan dan pendistribusian karya cipta secara fisik maupun digital merupakan salah satu hak eksklusif yang dimiliki oleh pencipta atau pemegang hak cipta sebagaimana tertera dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b dan huruf e UU Hak Cipta. Terkait hal tersebut, Pasal 9 ayat (2) UU Hak Cipta menyebutkan bahwa setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi wajib mendapat izin dari pencipta atau pemegang hak cipta. Kemudian Pasal 9 ayat (3) UU Hak Cipta mempertegas bahwa:

“Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.”

Larangan ini berlaku umum, termasuk untuk kegiatan penggandaan buku atau materi pelajaran dalam bentuk cetak maupun digital, yang dilakukan oleh individu, lembaga, atau institusi. Bahkan jika dilakukan oleh pihak ketiga seperti tukang fotokopi, penerbit tidak resmi, atau operator digital printing, tindakan tersebut tetap tergolong sebagai pelanggaran hak cipta apabila tidak disertai izin dari pemegang hak.

Selain aspek hukum perdata, pelanggaran hak cipta dalam bentuk penggandaan tanpa izin untuk kegiatan komersil juga dapat dijerat pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 113 ayat (3) UU Hak Cipta yang mengancam pelaku dengan hukuman penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak 1 (satu) miliar rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa negara memandang serius hak cipta sebagai bagian dari perlindungan kekayaan intelektual yang memiliki nilai ekonomi. 

Oleh karena itu, penting bagi institusi pendidikan untuk tidak hanya fokus pada penyampaian materi pembelajaran, tetapi juga memperhatikan aspek legalitas penyediaan bahan ajar. Langkah konkret seperti kerja sama resmi dengan penerbit, penyediaan akses digital legal, atau penggunaan buku open access bisa menjadi solusi berkelanjutan untuk menghargai hak cipta sambil tetap mendukung kelancaran proses pendidikan.***

Baca juga: Lindungi Bisnismu, Ini Panduan Legal Menggunakan Hak Cipta di Era Digital

Hindari risiko hukum yang bisa merusak reputasi institusimu!

Konsultasikan bersama Tim SIPR Consultant untuk memastikan setiap langkahmu bebas dari jeratan pelanggaran hak cipta

Daftar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU HC). 

Referensi:

  • Melihat Manfaat dan Perlindungan HKI di Sektor Pendidikan. HukumOnline. (Diakses pada 30 Juli 2025 pukul 14.28  WIB). 
  • Pasal 44 ayat (1) UU Hak Cipta tentang Fair Use. HukumOnline. (Diakses pada 30 Juli 2025 pukul 14.28 WIB). 
  • Fair Use vs Penggunaan yang Wajar dalam Hak Cipta. Binus University. (Diakses pada 30 Juli 2025 pukul 14.43 WIB). 
  • Menimbang Prinsip Fair Use dalam Kerangka Hak Cipta Nasional. HukumOnline. (Diakses pada 30 Juli 2025 pukul 14.47 WIB). 
Translate »