Industri musik semakin berkembang pesat dengan hadirnya teknologi digital yang memungkinkan musisi dan kreator untuk melakukan inovasi pada karya musik, termasuk praktik “remix”. Remix lagu pada dasarnya merupakan bentuk pengolahan kembali karya musik orang lain dengan menambahkan instrumen, mengubah beat, atau memberikan sentuhan baru yang berbeda dari versi aslinya. Namun, permasalahan muncul ketika remix dilakukan terhadap lagu yang dilindungi hak cipta tanpa izin dari pencipta atau pemegang hak cipta, terlebih lagi jika karya remix tersebut kemudian digunakan untuk tujuan komersial.
Di Indonesia, perlindungan hak cipta diatur melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”). Undang-Undang ini secara jelas menegaskan bahwa hak cipta memberikan hak eksklusif kepada pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya. Pertanyaannya, apakah praktik remix lagu termasuk bentuk pelanggaran hak cipta atau justru dapat dilegalkan melalui mekanisme tertentu?
SIP-R Consultant akan membahas aturan hukum mengenai remix lagu untuk tujuan komersial menurut UU Hak Cipta, sanksi hukum yang dapat dijatuhkan kepada pelaku remix tanpa izin, serta solusi agar kreator dapat tetap berkreasi tanpa melanggar hukum.
Aturan Terkait Penggunaan Karya Cipta Menurut UU Hak Cipta
Pasal 9 ayat (1) UU Hak Cipta menyatakan bahwa pencipta atau pemegang hak cipta memiliki hak ekonomi atas ciptaannya, termasuk hak untuk melakukan pengumuman, penggandaan, distribusi, pertunjukan, maupun adaptasi karya cipta. Dalam remix lagu, tindakan mengaransemen ulang atau mengadaptasi lagu asli termasuk dalam hak ekonomi yang disebut sebagai mechanical rights. Mechanical rights adalah suatu hak yang dimiliki oleh pencipta atau pemegang hak cipta untuk menggandakan atau pun mengubah sebuah lagu dalam bentuk lain.
Remix lagu saat ini telah menjadi praktik yang cukup umum dilakukan oleh masyarakat luas sebagai bentuk ekspresi kreatif. Namun, berdasarkan ketentuan dalam UU Hak Cipta, setiap individu yang ingin melakukan remix terhadap lagu milik orang lain wajib izin terlebih dahulu dengan mengajukan permohonan atas hak penggandaan dan pengadaptasian karya (mechanical rights) kepada pencipta atau pemegang hak cipta lagu tersebut. Jika permohonan tersebut disetujui, maka pelaku remix akan memperoleh lisensi resmi yang melegalkan penggunaan dan pengolahan ulang lagu tersebut.
Pasal 80 ayat (1) UU Hak Cipta menegaskan bahwa pemegang hak cipta berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian tertulis untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. Artinya, remix lagu hanya legal jika dilakukan dengan persetujuan resmi dari pemilik hak cipta. Dalam praktiknya, LMKN berperan sebagai perantara dalam pengelolaan royalti dan pemberian lisensi, terutama untuk performing rights.
Namun, perlu dibedakan antara performing rights dan mechanical rights. Performing rights mencakup hak untuk memutar atau memperdengarkan lagu, sementara mechanical rights mencakup hak untuk mengubah atau mengaransemen lagu. Untuk remix, yang termasuk dalam mechanical rights, lisensi harus diperoleh langsung dari pemegang hak cipta, bukan hanya melalui LMKN.
Sayangnya, meskipun aturan mengenai mechanical rights telah diatur secara jelas dalam perundang-undangan, masih banyak pelaku remix yang tidak mengajukan izin kepada pencipta atau pemegang hak cipta sebelum mengolah ulang lagu. Akibatnya, pencipta lagu sebagai pemilik hak cipta tidak memperoleh manfaat ekonomi maupun pengakuan atas karya yang telah mereka hasilkan dengan pengorbanan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit. Praktik ini tidak hanya merugikan pencipta, tetapi juga melemahkan sistem perlindungan hukum terhadap karya musik di Indonesia.
Sanksi Hukum atas Pengabaian Perizinan Remix Lagu
Remix lagu tanpa izin dari pencipta atau pemegang hak cipta dapat dikenakan sanksi pidana maupun perdata. Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta menyatakan bahwa setiap orang yang tanpa hak dan/atau tanpa izin melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta untuk tujuan komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00.
Sanksi ini berlaku bagi siapa pun yang mengunggah, menjual, atau memonetisasi remix lagu tanpa lisensi. Bahkan jika remix tersebut hanya diunggah di media sosial seperti TikTok atau YouTube dan menghasilkan keuntungan, tindakan tersebut tetap dikategorikan sebagai penggunaan komersial dan dapat dikenai sanksi hukum. Selain sanksi pidana, pencipta atau pemegang hak cipta juga dapat mengajukan gugatan perdata untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkan. Gugatan ini dapat mencakup kompensasi finansial, penghentian distribusi remix, dan permintaan penghapusan konten dari platform digital.
Baca juga: Mengupas Kasus Pelanggaran Hak Cipta di Indonesia dan Dampak Hukumnya
Studi Kasus Remix Tanpa Izin
Kasus yang dialami oleh Nadin Amizah menjadi sorotan penting dalam diskusi hak cipta musik di era digital. Lagu ciptaannya, “Rayuan Perempuan Gila,” diubah menjadi versi speed-up oleh pengguna tanpa izin, lalu disebarluaskan dan digunakan secara luas. Nadin secara terbuka menyampaikan kekesalannya, menegaskan bahwa tindakan remix tanpa izin adalah bentuk pelanggaran terhadap hak pencipta, terlebih jika dilakukan untuk tujuan komersial atau monetisasi.
Fenomena ini menggambarkan tren umum di kalangan kreator yang memanfaatkan lagu populer untuk remix demi daya tarik viral. Namun, tanpa pengajuan mechanical rights atau lisensi resmi dari pencipta atau pemegang hak cipta, tindakan tersebut tetap melanggar hukum. Hak cipta bukan hanya soal pengakuan, tetapi juga soal perlindungan atas hak ekonomi dan moral pencipta.
Untuk menghindari pelanggaran, kreator remix harus memahami mekanisme lisensi yang berlaku. LMKN sebagai lembaga resmi yang ditunjuk oleh pemerintah memiliki kewenangan untuk mengelola royalti dan memberikan lisensi performing rights. Namun, untuk mechanical rights, lisensi harus diperoleh langsung dari pencipta atau publisher yang memegang hak cipta lagu tersebut. Prosedur umum yang harus dilakukan oleh kreator remix meliputi:
- Mengidentifikasi pemegang hak cipta lagu asli. Mengajukan permohonan lisensi tertulis untuk melakukan remix;
- Menyepakati perjanjian lisensi yang mencakup durasi, wilayah, dan besaran royalti;
- Melaporkan penggunaan lagu kepada LMKN melalui Sistem Informasi Lagu dan/atau Musik (SILM);
- Membayar royalti sesuai ketentuan yang berlaku.
Remix lagu adalah bentuk ekspresi kreatif yang sah dan diakui dalam industri musik. Namun, untuk tujuan komersial, remix harus dilakukan dengan mematuhi ketentuan hukum yang berlaku. UU Hak Cipta memberikan perlindungan kuat bagi pencipta, dan pelanggaran terhadap hak ekonomi dapat berujung pada sanksi pidana dan perdata.
Bagi kreator konten, DJ, dan produser musik, penting untuk memahami perbedaan antara performing rights dan mechanical rights, serta mekanisme lisensi yang berlaku. Dengan memperoleh izin dan membayar royalti, remix lagu dapat menjadi karya yang legal, etis, dan berkontribusi positif terhadap ekosistem musik.***
Baca juga: Lindungi Bisnismu, Ini Panduan Legal Menggunakan Hak Cipta di Era Digital
Jangan Sampai Terjerat Hukum!
Pastikan Kamu Sudah Kantongi Izin Sebelum Remix atau Gunakan Karya Cipta Orang Lain, Konsultasikan Langsung Bersama Tim SIP-R Consultant!
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”).
Referensi:
- Kata Mengumumkan Mengacu pada Performing Rights. HukumOnline. (Diakses pada 26 Agustus 2025 pukul 09.17 WIB).
- Liandra, M. D. (2014). Mechanical Rights Dalam Platform Digital Youtube. Lex LATA. 2, 324–339. (Diakses pada 26 Agustus 2025 pukul 09.25 WIB).
- Kekesalan Nadin Amizah atas Remix Lagu Rayuan Perempuan Gila, Analisis Hak Cipta Bidang Industri Musik di Era Digital. Business Law Community FH Universitas Gadjah Mada. (Diakses pada 26 Agustus 2025 pukul 09.44 WIB).
