Di tengah semangat inovasi yang terus tumbuh, banyak pelaku usaha dan inventor beranggapan bahwa setiap ide atau temuan baru secara otomatis layak mendapatkan perlindungan paten. Persepsi ini kerap muncul karena penemuan dianggap sebagai hasil kreativitas atau solusi praktis yang memiliki nilai komersial tinggi. Namun, dalam praktiknya, sistem paten tidak bekerja semata-mata berdasarkan nilai pasar atau manfaat praktis dari suatu invensi. Ia tunduk pada serangkaian kriteria substantif yang ketat dan batasan hukum yang jelas.
Untuk dapat dipatenkan, sebuah invensi harus melewati proses evaluasi yang kompleks, mulai dari pengujian kebaruan, penilaian tingkat kreativitas teknis, hingga pembuktian bahwa invensi tersebut dapat diterapkan secara nyata dalam dunia industri. Di luar itu, terdapat pula daftar pengecualian yang secara eksplisit
menyingkirkan jenis-jenis invensi tertentu dari perlindungan paten. Artinya, meskipun suatu penemuan terbukti berguna, inovatif, dan bahkan laris di pasar, ia tetap bisa ditolak untuk dipatenkan jika tidak memenuhi syarat atau termasuk dalam kategori yang dikecualikan. Pemahaman terhadap batasan ini menjadi krusial bagi siapa pun yang ingin melindungi hasil inovasinya secara hukum dan strategis.
Syarat Invensi yang Dapat Dipatenkan
Sebelum suatu invensi dapat memperoleh perlindungan hukum melalui paten, ia harus melewati serangkaian uji kelayakan yang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga substantif. Proses ini bertujuan untuk memastikan bahwa invensi tersebut benar-benar memenuhi standar inovasi yang diakui secara hukum dan teknis. Banyak permohonan paten yang ditolak bukan karena kurangnya nilai komersial, melainkan karena tidak lolos dalam pengujian substansi yang menjadi fondasi sistem paten. Oleh karena itu, memahami syarat-syarat dasar ini menjadi langkah awal yang penting bagi setiap inventor, pelaku usaha, maupun konsultan hukum yang terlibat dalam proses pendaftaran.
Syarat substantif ini bukan sekadar formalitas, melainkan cerminan dari prinsip bahwa paten hanya diberikan kepada invensi yang benar-benar memberikan kontribusi baru bagi dunia teknologi dan industri. Dengan kata lain, sistem paten tidak bertujuan untuk melindungi ide mentah atau modifikasi sederhana, tetapi untuk mendorong terobosan yang memiliki nilai teknis dan bermanfaat bagi industri. Sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (“UU Paten”) yang menyatakan bahwa Paten diberikan untuk Invensi yang baru, mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri.
Penjelasan terkait dengan 3 (tiga) syarat utama tersebut, yakni sebagai berikut:
- Bersifat baru (novelty)
Suatu invensi dinilai memiliki kebaruan, apabila pada saat permohonan diajukan, tidak terdapat teknologi lain yang identik telah dipublikasikan sebelumnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Paten. Penilaian “tidak identik” di sini bukan sekadar perbedaan yang tampak, melainkan harus dianalisis berdasarkan kesamaan atau perbedaan fungsi dari ciri teknis yang dimiliki invensi tersebut dibandingkan dengan teknologi terdahulu. Teknologi yang telah diungkapkan sebelumnya, dikenal sebagai state of the art atau prior art, meliputi seluruh informasi teknis yang telah tersedia secara publik, baik melalui dokumen paten maupun sumber non-paten.
- Mengandung langkah inventif (inventive step)
Diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Paten, bahwa invensi harus memiliki tingkat kebaruan yang tidak dapat diduga oleh orang yang memiliki keahlian di bidang teknis terkait. Artinya, invensi tersebut bukan sekadar modifikasi sederhana dari teknologi yang sudah ada, melainkan menyelesaikan masalah teknis dengan cara yang tidak lazim atau tidak terduga.
- Dapat diterapkan dalam industri (industrial applicability)
Suatu invensi dinilai dapat diterapkan dalam industri jika dapat direalisasikan sesuai dengan uraian dalam permohonan paten dan dapat digunakan dalam kegiatan produksi atau operasional di sektor industri. Artinya, invensi tersebut bukan sekadar gagasan teoritis, melainkan solusi yang dapat diwujudkan secara nyata dan memberikan manfaat praktis dalam kegiatan industri.
Apa Saja Invensi yang Tidak Dapat Diberikan Paten?
Meski sistem paten dirancang untuk mendorong inovasi dan memberikan perlindungan hukum atas hasil temuan teknis, tidak semua jenis invensi dapat diberikan hak paten. Ada batasan yang ditetapkan secara tegas untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan publik, etika, dan perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini penting agar sistem paten tidak digunakan untuk mengklaim hak eksklusif atas hal-hal yang seharusnya tetap menjadi milik bersama atau tidak layak dikomersialisasikan secara hukum.
Dalam praktiknya, banyak permohonan paten yang ditolak bukan karena kurangnya kreativitas atau nilai ekonomi, tetapi karena invensinya termasuk dalam kategori yang secara eksplisit dikecualikan dari perlindungan paten. Kategori ini mencakup invensi yang bertentangan dengan moralitas, metode medis tertentu, hingga kreasi yang lebih cocok dilindungi oleh sistem hak cipta atau perlindungan lainnya. Diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 65 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (“UU Paten 2024”), bahwa Invensi tidak mencakup:
- kreasi estetika;
- skema;
- metode untuk melakukan kegiatan:
- yang melibatkan kegiatan mental;
- permainan; dan
- bisnis;
- program komputer, kecuali Invensi yang diimplementasikan komputer;
- presentasi mengenai suatu informasi;
- teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika.
Lebih lanjut, Pasal 9 UU Paten 2024 secara rinci mengatur beberapa Invensi yang tidak dapat diberi paten, yakni meliputi:
- proses, produk, metode, sistem, dan penggunaan, yang pengumuman, penggunaan, atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, agama, ketertiban umum, atau kesusilaan;
- metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan, dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan;
- makhluk hidup, kecuali jasad renik; atau
- proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses nonbiologis atau proses mikrobiologis.
Ketentuan ini bertujuan untuk menjaga agar sistem paten tidak melindungi hal-hal yang bertentangan dengan hukum, etika, atau kepentingan publik. Salah satu larangan utama adalah invensi yang pengumuman, penggunaan, atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, nilai-nilai agama, ketertiban umum, atau kesusilaan. Artinya, jika suatu teknologi berpotensi menimbulkan dampak negatif secara sosial atau hukum, maka ia tidak layak diberi hak eksklusif.
Selain itu, metode medis yang diterapkan langsung pada manusia atau hewan seperti pemeriksaan, perawatan, pengobatan, dan pembedahan juga dikecualikan dari perlindungan paten. Tujuannya adalah agar akses terhadap metode penyembuhan tetap terbuka dan tidak dimonopoli. Invensi berupa makhluk hidup pun tidak dapat dipatenkan, kecuali jasad renik seperti mikroorganisme yang memiliki aplikasi teknis.
Adapun proses biologis esensial untuk menghasilkan tanaman atau hewan, seperti penyilangan alami atau penyerbukan, juga tidak dapat dipatenkan karena dianggap sebagai bagian dari proses alamiah. Hanya proses mikrobiologis atau nonbiologis yang melibatkan rekayasa teknis yang masih dapat dipertimbangkan untuk perlindungan hukum. Aturan tersebut mempertegas bahwa sistem paten tidak hanya berfungsi sebagai pelindung inovasi, tetapi juga sebagai penjaga batas etis dan sosial dalam perkembangan teknologi.
Baca juga: Paten Bisa Jadi Agunan Pinjaman, Bagaimana Regulasinya?
Lalu, Bagaimana Strategi yang Bisa Dilakukan Inventor?
Strategi yang dapat dilakukan oleh inventor untuk menghadapi batasan paten bukan hanya soal menghindari penolakan, tetapi juga soal mengoptimalkan perlindungan atas inovasi yang telah dikembangkan. Dalam hal ini, inventor perlu bersikap cermat dan mampu menentukan langkah persiapan sejak tahap awal penciptaan hingga proses komersialisasinya. Berikut beberapa hal yang dapat diterapkan:
Pertama, inventor perlu melakukan penilaian awal mengenai standar “kelayakan” invensi yang dapat dipatenkan sebelum mengajukan permohonan. Ini mencakup analisis kebaruan, langkah inventif, dan penerapan industri, serta identifikasi apakah invensi termasuk dalam kategori yang dikecualikan. Penelusuran terhadap prior art atau teknologi terdahulu sangat penting untuk menghindari duplikasi dan memperkuat posisi invensi. Konsultasi dengan konsultan kekayaan intelektual dapat membantu menyusun klaim yang lebih tajam dan sesuai dengan standar hukum.
Kedua, jika invensi tidak memenuhi syarat paten atau termasuk dalam kategori yang dikecualikan, inventor dapat mempertimbangkan alternatif perlindungan hukum. Misalnya, program komputer yang tidak memiliki karakter teknis bisa dilindungi melalui hak cipta, sementara formula bisnis atau metode kerja dapat dijaga sebagai rahasia dagang. Desain visual produk yang tidak memenuhi syarat paten bisa dialihkan ke perlindungan desain industri. Pendekatan ini memungkinkan inventor tetap menjaga eksklusivitas dan nilai komersial invensinya meskipun tidak melalui jalur paten.
Terakhir, inventor perlu membangun literasi hukum dan teknologi secara berkelanjutan agar tetap relevan dan terlindungi dalam ekosistem inovasi yang terus berubah. Perkembangan regulasi kekayaan intelektual, praktik internasional, serta kemunculan teknologi baru seperti kecerdasan buatan menuntut kita untuk terus mengupgrade pemahaman dalam melindungi inovasi. Dengan terus mengikuti tren hukum dan teknis, inventor dapat mengidentifikasi peluang invensi yang dapat dipatenkan, membuat perlindungan yang tepat, menghindari risiko penolakan, serta mengembangkan invensi yang tidak hanya kreatif, tetapi juga layak dikomersialisasikan secara optimal.***
Baca juga: Mengapa Perlindungan Inovasi melalui Paten Penting bagi Pertumbuhan Bisnis?
Catat Syarat Invensi yang Dapat Dipatenkan!
Pahami syarat substantif dan potensi pengecualian dengan pendampingan konsultan agar strategi perlindunganmu kuat secara hukum dan efektif secara bisnis bersama SIP-R Consultant!
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 65 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (“UU Paten 2024”).
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (“UU Paten”).
Referensi:
Cara Mengajukan Hak Paten dan Syaratnya. HukumOnline. (Diakses pada 1 September 2025 pukul 08.02 WIB).
