Di era digital dan ekonomi kreatif yang terus berkembang, karya cipta telah bertransformasi dari sekadar bentuk ekspresi pribadi menjadi aset bernilai tinggi yang dapat dimonetisasi. Musik, tulisan, desain grafis, fotografi, video, perangkat lunak, hingga konten media sosial kini tidak hanya dinilai dari sisi estetika atau fungsi, tetapi juga dari potensi ekonominya. Kreativitas yang dulu dianggap sebagai ranah idealis si pencipta, kini menjadi bagian penting dari model bisnis modern era ekraf. Platform digital, marketplace kreatif, dan media sosial telah membuka jalan bagi para pencipta untuk menjangkau audiens global dan mengubah karya mereka menjadi sumber penghasilan yang nyata.
Namun, di balik peluang besar tersebut, masih banyak pencipta yang belum memahami bagaimana karya cipta dapat dikelola sebagai aset ekonomi. Hak cipta sering kali hanya dipandang sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap pembajakan atau plagiarisme, padahal selain itu juga merupakan fondasi utama dalam proses monetisasi yang sah dan menguntungkan pencipta. Tanpa strategi yang tepat, karya cipta berisiko digunakan tanpa izin, disalahgunakan, atau bahkan kehilangan nilai komersialnya.
Memahami Hak Ekonomi sebagai Sumber Penghasilan Pencipta
Hak cipta terdiri dari 2 (dua) jenis hak utama, hak moral dan hak ekonomi. Hak moral berkaitan dengan pengakuan atas pencipta dan integritas karya, sedangkan hak ekonomi memberikan pencipta hak untuk memperoleh manfaat finansial dari karya cipta yang dimilikinya. Melalui hak ekonomi, pencipta memperoleh kendali penuh atas bagaimana karya mereka dimanfaatkan oleh pihak lain, baik melalui penggandaan, penerbitan, penayangan, maupun distribusi digital.
Pemahaman mendalam mengenai hak ekonomi ini menjadi langkah awal untuk mengonversi suatu kreativitas menjadi nilai finansial yang nyata, sekaligus memastikan bahwa setiap bentuk pemanfaatan karya memberikan manfaat ekonomi yang layak bagi penciptanya. Menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU HC”):
“Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan.”
Pasal ini menegaskan bahwa pencipta memiliki hak mutlak untuk memperoleh keuntungan dari ciptaannya. Artinya, setiap pihak yang ingin menggunakan, memperbanyak, atau mendistribusikan suatu karya wajib mendapatkan izin terlebih dahulu dari pemegang hak cipta, dan pencipta berhak atas imbalan berupa royalti atau bentuk kompensasi lain.
Sementara itu, Pasal 9 UU Hak Cipta memperinci bentuk-bentuk hak ekonomi tersebut. Dalam Pasal ini disebutkan bahwa:
- Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan:
- penerbitan Ciptaan;
- Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
- penerjemahan Ciptaan;
- pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan;
- Pendistribusian Ciptaan atau salinannya;
- pertunjukan Ciptaan;
- Pengumuman Ciptaan;
- Komunikasi Ciptaan; dan
- penyewaan Ciptaan.
- Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
- Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.
Dari ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa hak ekonomi mencakup seluruh bentuk eksploitasi ekonomi atas karya cipta. Pencipta bukan hanya berhak mencegah penggunaan tanpa izin, tetapi juga memperoleh pendapatan dari berbagai bentuk pemanfaatan, seperti penjualan lisensi penerjemahan, hak tayang, hak pertunjukan, hingga penyewaan digital. Dalam praktiknya, hak ekonomi ini menjadi dasar utama bagi sistem royalti dan lisensi yang memungkinkan karya menghasilkan pendapatan berulang sepanjang masa perlindungan berlaku.
Baca juga: Menjaga Karya, Menegakkan Hak: Perlindungan Hak Cipta bagi Animator Indonesia
Lisensi dan Royalti sebagai Instrumen Komersialisasi
Setelah memahami bahwa hak ekonomi memberikan hak kepada pencipta untuk mendapatkan manfaat finansial dari karya ciptaannya, langkah selanjutnya adalah memanfaatkan hak tersebut melalui mekanisme lisensi dan royalti. 2 instrumen ini merupakan cara paling umum dan efektif bagi pencipta untuk menghasilkan uang dari hak cipta secara sah, tanpa harus menjual kepemilikan karyanya secara permanen.
- Pengertian dan Fungsi Lisensi
Lisensi pada dasarnya adalah izin tertulis dari pemegang hak cipta kepada pihak lain untuk menggunakan karya tertentu dalam jangka waktu, wilayah, dan tujuan tertentu. Melalui lisensi, pencipta tetap memegang hak cipta atas karya tersebut, tetapi memberikan hak penggunaan kepada pihak lain untuk tujuan komersial tertentu.
Misalnya, seorang musisi dapat memberikan lisensi kepada rumah produksi (production house/PH) untuk menggunakan lagunya dalam film, atau seorang penulis memberikan lisensi kepada penerbit untuk mencetak dan menjual bukunya.
Menurut Pasal 80 ayat (1) UU Hak Cipta, “Pemegang Hak Cipta dapat memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian tertulis untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).”
Dengan demikian, lisensi menjadi instrumen hukum yang menjembatani kepentingan ekonomi antara pencipta dan pengguna karya. Bentuk perjanjian lisensi sama seperti perjanjian pada umumnya, namun isi dari perjanjian lisensi harus mematuhi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, yakni berlaku selama jangka waktu tertentu dan tidak melebihi masa berlaku hak cipta dan hak terkait. Penerima lisensi nantinya akan memberikan royalti kepada pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait selama jangka waktu lisensi, kecuali diperjanjikan lain.
Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”), yakni:
- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
- Suatu hal tertentu;
- Suatu sebab yang diperkenankan.
Sementara itu, larangan dalam perjanjian lisensi diatur dalam Pasal 82 UU Hak Cipta yang berbunyi:
- Perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan yang mengakibatkan kerugian perekonomian Indonesia;
- Isi perjanjian lisensi dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- Perjanjian lisensi dilarang menjadi sarana untuk menghilangkan atau mengambil alih seluruh hak pencipta atas ciptaannya.
Melalui sistem lisensi ini, karya tetap berada di bawah kendali penuh pencipta atau pemegang hak, sementara pengguna dapat memanfaatkan karya secara sah untuk tujuan komersial pula.
- Royalti sebagai Bentuk Imbalan Ekonomi
Royalti adalah imbalan finansial yang dibayarkan kepada pencipta atau pemegang hak cipta atas penggunaan karya mereka. Pembayaran royalti bisa dilakukan dalam bentuk persentase dari pendapatan (misalnya dari penjualan, langganan, atau iklan), maupun dalam jumlah tetap sesuai kesepakatan.
Di Indonesia, lembaga yang bertanggung jawab dalam pengelolaan royalti adalah Lembaga Manajemen Kolektif atau biasa dikenal dengan LMK. Tujuan LMK adalah untuk memajukan dan melindungi hak-hak pencipta, sebab terdapat banyak contoh di mana karya cipta yang dilindungi hak cipta digunakan oleh stasiun penyiaran dalam format siaran dan komersial, tetapi royalti tidak dibayarkan kepada pemegang hak tersebut.
Menurut penjelasan Pasal 87 ayat (2), LMK berperan mengelola hak ekonomi secara kolektif dengan prinsip transparansi dan keadilan. LMK mengumpulkan royalti dari pengguna karya, mendistribusikan sesuai data penggunaan, dan membuat laporan periodik bagi para anggotanya.
Dalam beberapa tahun terakhir, pengelolaan royalti di Indonesia mengalami perkembangan, terutama setelah diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik (“PP 56/2021”). Regulasi ini menjadi tonggak penting dalam mewujudkan transparansi dan keadilan bagi para pencipta dan/atau pemegang hak cipta atas royalti pemanfaatan karya mereka.
Salah satu langkah nyata dari implementasi peraturan tersebut adalah dengan diperkuatnya tata kelola royalti musik nasional dengan meluncurkan sistem digital terbaru bernama INSPIRATION yang menjadi wujud penerapan kebijakan Satu Pintu (One Gate Policy) dalam pembayaran royalti lagu dan/atau musik.
Lisensi dan royalti tidak hanya berfungsi sebagai perlindungan hukum, tetapi juga menjadi strategi bisnis. Dengan sistem lisensi yang baik, karya dapat digunakan berulang kali tanpa kehilangan nilai kepemilikan. Hal ini menciptakan aliran pendapatan pasif (passive income) bagi pencipta, bahkan setelah karya tersebut lama dirilis.***
Baca juga: Peran Hak Cipta dalam Mendukung Industri Kreatif dan Ekonomi Digital
Jangan hanya jadi aset tak bernilai, maksimalkan nilai ekonomis karya ciptamu dengan strategi yang tepat.
Konsultasikan langkah komersialisasinya bersama SIP-R Consultant sekarang juga!
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU HC”).
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”).
- Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik (“PP 56/2021”).
Referensi:
- Haryawan, A., & Akasih, P. Y. D. (2016). Perjanjian Lisensi Hak Cipta di Indonesia.. Business Law Review, 1(November), 32–37. (Diakses pada 14 Oktober 2025 pukul 09.14 WIB).
- Adela, P., & Isradjuningtias, A. C. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Cipta Musik Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 Tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan Musik. Jurnal Kewarganegaraan, 6(3), 1–10. (Diakses pada 14 Oktober 2025 pukul 09.29 WIB).
- Asihatka, P. T. M. R. (2024). Lisensi Royalti Penggunaan Hak Cipta Lagu untuk Kepentingan yang Bersifat Komersial. BORNEO Law Review, 8 (2)(1100), 113–126. (Diakses pada 14 Oktober 2025 pukul 09.43 WIB).
- LMKN Luncurkan Sistem Pembayaran Royalti Digital “Inspiration”. Lembaga Manajemen Kolektif Nasional. (Diakses pada 14 Oktober 2025 pukul 10.24 WIB).
