Di tengah pesatnya transformasi digital, perusahaan semakin bergantung pada sistem elektronik untuk menyimpan, mengelola, dan mendistribusikan informasi bisnis yang bersifat krusial. Salah satu bentuk informasi yang paling penting adalah rahasia dagang, yaitu data internal yang memiliki nilai ekonomi dan menjadi penentu daya saing perusahaan. Rahasia Dagang yang dulu tersimpan dalam brankas dan ingatan karyawan, kini tersebar dalam server, cloud, e-mail, dan lainnya. Ketergantungan pada infrastruktur digital meningkatkan produktivitas, tetapi juga memperbesar potensi serangan dan risiko kebocoran informasi bernilai ekonomi.
Akan tetapi, digitalisasi juga membawa risiko baru, yakni kebocoran data, serangan siber, dan penyalahgunaan informasi yang dapat merugikan pemilik rahasia dagang. Perlindungan terhadap rahasia dagang kini tidak hanya menjadi isu hukum, tetapi juga tantangan teknologi dan manajemen risiko. SIP-R Consultant akan membahas mengapa rahasia dagang menjadi aset digital yang rentan, bagaimana mekanisme hukum yang tersedia di Indonesia, serta strategi pencegahan insiden kebocoran informasi rahasia dagang.
Memahami Rahasia Dagang sebagai Aset Digital yang Rentan
Di era digital, rahasia dagang tidak lagi terbatas pada dokumen fisik, formula tertulis, atau pengetahuan yang tersimpan dalam ingatan karyawan. Informasi yang dulunya dijaga dalam brankas atau ruang arsip, kini berpindah ke server internal, cloud publik, e-mail, dan berbagai platform daring. Perubahan ini menjadikan rahasia dagang sebagai aset digital yang sangat rentan terhadap ancaman eksternal dan internal. Serangan siber, praktik hacking, hingga kelalaian sumber daya manusia menjadi tantangan nyata dalam menjaga kerahasiaan informasi yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Di Indonesia, perlindungan hukum terhadap rahasia dagang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang (“UU Rahasia Dagang”). UU ini mendefinisikan rahasia dagang melalui Pasal 1 angka 1, yakni:
“Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang.”
Sementara itu, dalam Pasal 39 Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (“TRIPs Agreement”), diatur tentang perlindungan rahasia dagang, yakni mengharuskan negara anggotanya untuk memberikan perlindungan hukum bagi rahasia dagang dalam rangka mencegah pihak lain yang secara tidak sah mendapatkan, menggunakan, atau mengungkapkan informasi tersebut.
Namun kini, kerentanan rahasia dagang sebagai aset digital semakin meningkat seiring dengan maraknya penggunaan teknologi berbasis cloud dan sistem kerja jarak jauh. Banyak perusahaan mengandalkan layanan pihak ketiga untuk membantu menyimpan dan mengelola data bisnis, yang berarti kontrol atas kerahasiaan informasi tidak sepenuhnya berada di tangan pemilik. Selain itu, penggunaan perangkat pribadi oleh karyawan untuk mengakses data perusahaan, serta praktik berbagi dokumen melalui aplikasi komunikasi pun memperbesar risiko kebocoran yang tidak disengaja maupun yang bersifat sabotase.
Keberadaan rahasia dagang berkaitan dengan perlindungan konsumen, sehingga dalam penegakan hukum rahasia dagang seringkali bersinggungan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen”). Implementasi perlindungan hukum rahasia dagang bersifat privat atau individualistik, sehingga pelaku usaha sebagai pemilik hak eksklusif rahasia dagang harus melakukan upaya yang patut agar informasi miliknya tetap terjaga meski tersimpan dalam media digital.
Apabila suatu informasi telah diketahui publik, maka informasi tersebut akan kehilangan statusnya sebagai rahasia dagang dan tidak lagi dapat dilindungi secara hukum. Begitu informasi tersebar luas, baik melalui publikasi, media sosial, atau kebocoran yang tidak segera tertangani, maka sifat eksklusif dan nilai ekonominya sebagai informasi rahasia pun akan hilang.
Baca juga: Kenali Ciri Informasi Rahasia Dagang dan Langkah Perlindungannya
Lalu, Bagaimana Mekanisme Perlindungan Hukum dan Strategi Pencegahan Kebocoran Rahasia Dagang?
Perlindungan hukum terhadap rahasia dagang berlandaskan UU Rahasia Dagang yang memberikan hak eksklusif kepada pemilik untuk menggunakan, melisensikan, dan melarang pihak lain memanfaatkan atau mengungkapkan informasi rahasia tanpa izin. Mekanisme perlindungan ini bersifat preventif dan represif.
Langkah preventif merupakan fondasi utama dalam menjaga keberlangsungan perlindungan rahasia dagang, terutama di tengah meningkatnya ancaman digital dan mobilitas data antar platform. Salah satu strategi yang paling esensial adalah penerapan Non-Disclosure Agreement (NDA) dan klausul kerahasiaan dalam kontrak kerja yang mengikat seluruh pihak yang memiliki akses terhadap informasi sensitif.
Perjanjian ini tidak hanya membatasi penggunaan dan pengungkapan informasi selama hubungan kerja berlangsung, tetapi juga mencakup kewajiban setelah hubungan kerja berakhir. Agar memiliki kekuatan hukum maksimum, NDA harus memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) mengenai kesepakatan, kecakapan, objek tertentu, dan sebab yang halal, sehingga tidak memberi ruang bagi celah pembatalan oleh pihak yang tidak beritikad baik.
Selain instrumen kontraktual, perusahaan wajib membangun kebijakan internal serta SOP keamanan yang mengatur tata kelola data secara komprehensif: mulai dari klasifikasi informasi, mekanisme pemberian hak akses, penyimpanan aman, pengaturan perangkat kerja, hingga standar komunikasi agar tidak membuka potensi kebocoran. Tata kelola ini harus didukung oleh proses access control yang ketat, prinsip least privilege, serta dokumentasi aktivitas akses sebagai bukti upaya preventif perusahaan dalam menjaga kerahasiaan sebagaimana dipersyaratkan dalam UU Rahasia Dagang.
Dari aspek teknologi, perusahaan perlu menerapkan mekanisme keamanan siber berlapis seperti enkripsi, autentikasi multifaktor, data loss prevention (DLP) tools, dan sistem deteksi dini ancaman (intrusion detection system/IDS) guna memitigasi risiko akses ilegal dan pencurian data. Tidak hanya itu, audit keamanan berkala dan penetration testing berfungsi untuk menilai efektivitas pengendalian internal, memastikan kepatuhan kebijakan, serta mendeteksi potensi celah yang mungkin terlewat oleh sistem.
Mekanisme represif merupakan langkah penegakan hukum yang ditempuh setelah terjadi kebocoran, penyalahgunaan, atau pengungkapan tanpa izin atas rahasia dagang. Era digital menuntut perusahaan untuk tidak hanya mengandalkan pendekatan hukum, tetapi juga sistem keamanan teknologi informasi yang kuat. Namun, dari sisi hukum, UU Rahasia Dagang sudah memberikan mekanisme perlindungan, serta sanksi terhadap pelanggaran rahasia dagang.
Jika terjadi kebocoran rahasia dagang, pemilik informasi memiliki hak untuk menempuh jalur hukum guna melindungi kepentingannya. Salah satu opsi adalah mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) UU Rahasia Dagang mengatur bahwa Pemegang Hak Rahasia Dagang atau penerima Lisensi dapat menggugat siapa pun yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan yang menjadi hak pemilik, berupa:
- Gugatan ganti rugi; dan/atau
- Penghentian semua perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh pemilik hak atau penerima lisensi.
Selain penyelesaian gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, para pihak pun dapat menyelesaikan perselisihan tersebut melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Di sisi pidana, pelanggaran terhadap rahasia dagang termasuk dalam kategori delik aduan, yang berarti proses hukum baru dapat berjalan jika ada laporan dari pihak yang dirugikan. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17 Undang-Undang Rahasia Dagang yang berbunyi:
“Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Rahasia Dagang pihak lain atau melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 atau Pasal 14 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”
Kebocoran rahasia dagang di era digital tidak hanya memicu risiko hukum, tetapi juga dapat melemahkan daya saing dan reputasi perusahaan. Oleh karena itu, pelaku usaha perlu menerapkan kebijakan internal yang kuat, memanfaatkan teknologi keamanan data, dan meningkatkan edukasi karyawan. Jika kebocoran terjadi, jalur alternatif penyelesaian sengketa, perdata, maupun pidana tersedia untuk melindungi hak pemiliknya. Perlindungan rahasia dagang pada akhirnya merupakan investasi penting bagi keberlanjutan dan kredibilitas bisnis.***
Baca juga: Rahasia Dagang dalam Hubungan Kerja: Tanggung Jawab Karyawan dan Strategi Pencegahan Melalui NDA
JANGAN TUNDA LAGI!
Konsultasikan Strategi Perlindungan Rahasia Dagangmu Bersama SIP-R Consultant! Lindungi Inovasi Bisnismu di Era Digital Sekarang.
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang (“UU Rahasia Dagang”).
- Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (“TRIPs Agreement”).
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen”).
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”).
Referensi:
- Nazihah, R., Muchtar, A. Z. R., & Sugianto, Q. F. (2025). Mekanisme Perlindungan Hukum Rahasia Dagang dalam Era Digitalisasi. JHN: Jurnal Hukum Nusantara, 1(30), 324–332. (Diakses pada 18 November 2025 pukul 09.49 WIB).
- Sanjaya, A. H., Salsabila, A. P., Suryaningsih, A., Silalahi, A. M., & Rahaditya, H. C. L. (2023). Aspek Hukum Rahasia Dagang dalam Ekonomi Digital. Jurnal Multilingual, 3(4), 479–487. (Diakses pada 18 November 2025 pukul 10.44 WIB).
- Firdaus, M. A., & Ilham, M. (2025). Strategi Pencegahan Kebocoran Rahasia Dagang dalam Industri Teknologi. JHN: Jurnal Hukum Nusantara, 1 (3), 333–342. (Diakses pada 18 November 2025 pukul 11.31 WIB).
