Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) telah membawa revolusi besar dalam dunia branding dan desain. AI kini mampu menghasilkan logo, tipografi, hingga identitas visual yang menyerupai merek ternama hanya dengan instruksi sederhana prompt. Fenomena ini dikenal sebagai AI Clone Branding, di mana sistem AI secara sengaja atau tidak sengaja meniru elemen visual merek yang sudah terdaftar. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius, apakah hasil karya AI yang menyerupai merek tertentu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual?
Di Indonesia, perlindungan merek diatur melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (“UU MIG”). Namun, kehadiran AI menghadirkan dilema baru, apakah AI dapat dianggap sebagai pencipta atau pelaku pelanggaran? Ataukah tanggung jawab sepenuhnya berada pada pengguna atau pengembang AI? Pertanyaan ini menjadi semakin relevan karena semakin banyak kasus di mana AI menghasilkan karya yang berpotensi melanggar hak merek.
Apakah Hasil Karya AI yang Menyerupai Merek Tertentu Masuk dalam Kategori Pelanggaran?
Secara normatif, hukum kekayaan intelektual Indonesia memberikan perlindungan terhadap karya yang orisinal, distinctive, dan memiliki nilai pembeda yang jelas. Dalam UU MIG, diatur bahwa suatu merek mendapatkan perlindungan apabila memiliki daya pembeda dan tidak menyerupai merek terdaftar milik pihak lain. Ketentuan serupa juga berlaku pada desain industri yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (“UU Desain Industri”) yang menyatakan bahwa suatu desain dianggap dilindungi apabila memiliki kebaruan dan tidak sama dengan desain yang telah ada sebelumnya.
Lalu, apakah desain yang dihasilkan oleh AI dan secara kebetulan menyerupai identitas merek tertentu dapat dianggap sebagai pelanggaran? Jawabannya bergantung pada 2 unsur penting, yakni:
- Unsur Kemiripan pada Pokoknya
Untuk kasus merek, pelanggaran terjadi apabila terdapat “persamaan pada pokoknya” yang berpotensi menyesatkan konsumen terhadap sumber barang atau jasa. Dengan kata lain, jika hasil generatif AI memunculkan logo, warna khas, atau karakter visal yang hampir identik dengan suatu merek terkenal dan terdaftar, maka secara hukum produk tersebut dapat dikategorikan meniru, meskipun dibuat oleh sistem AI tanpa intensi manusia untuk menyalin.
Mahkamah Agung, dalam beberapa putusan, konsisten menilai kemiripan merek berdasarkan kesan keseluruhan, bukan hanya elemen teknis. Artinya, apabila AI menghasilkan logo yang secara visual “mengingatkan” publik terhadap brand tertentu, maka unsur pelanggaran dapat terpenuhi.
Dalam hal ini, pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 83 ayat (1) UU MIG, bahwa:
Pemilik Merek terdaftar dan/atau penerima Lisensi Merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa yang sejenis berupa:
- Gugatan ganti rugi; dan/atau
- Penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan Merek tersebut.
- Unsur Niat Bukan Penentu Utama
Berbeda dengan hukum pidana, pelanggaran HKI tidak selalu mensyaratkan adanya niat jahat. Dalam sengketa HKI, aspek objektif berupa kemiripan lebih dominan daripada motif kreatornya. Karena itu, sekalipun pihak tersebut beralasan bahwa desain dibuat oleh AI dan tanpa instruksi meniru, ia tetap dapat dimintai pertanggungjawaban perdata.
Lalu, Siapa yang Bertanggungjawab atas Pelanggaran?
Meskipun sistem bekerja secara otomatis, hasil yang menyerupai merek tetap dapat dikategorikan sebagai pelanggaran apabila memenuhi unsur penggunaan tanpa hak dan menimbulkan kebingungan. Hal ini sejalan dengan prinsip perlindungan merek yang bertujuan menjaga keaslian identitas visual dan mencegah praktik peniruan.
Lebih lanjut, terdapat 3 subjek yang terdampak permasalahan yang timbul dari penggunaan AI yang berpotensi melanggar hukum, yakni:
- Pemegang Hak Kekayaan Intelektual;
- Penyedia layanan AI/Pengembang;
- Pengguna AI yang menciptakan/menginstruksikan karya dari AI
Kasus gugatan terhadap Perplexity AI oleh Merriam-Webster dan Encyclopaedia Britannica menjadi contoh nyata bagaimana output AI dapat dianggap melanggar hak cipta sekaligus merek dagang, karena sistem AI tersebut diduga menghasilkan konten yang menyalin definisi berhak cipta serta menampilkan nama merek pihak lain tanpa izin, sehingga berpotensi menyesatkan pengguna dan merusak reputasi brand mereka.
Fenomena ini memperkuat posisi hukum bahwa meskipun hasil karya AI tidak dapat didaftarkan dan AI bukan subjek hukum, output AI tetap dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran apabila memenuhi unsur kemiripan atau penggunaan tanpa hak, sebagaimana diatur dalam rezim HKI Indonesia.
Dengan demikian, kasus Perplexity AI menunjukkan bahwa risiko “AI Clone Branding” bukan sekadar isu teoretis, tetapi ancaman aktual yang dapat menimpa pengguna maupun penyedia layanan AI di Indonesia, sehingga pemilik merek perlu memperkuat mekanisme perlindungan, sementara pengguna AI harus lebih berhati-hati sebelum memakai output AI secara komersial.
Baca juga: Bagaimana Cara Menghasilkan Uang dari Hak Cipta?
Strategi Perlindungan Merek di Era AI
Untuk menghadapi risiko AI Clone Branding, pemilik merek harus memperkuat strategi perlindungan HKI dengan pendekatan proaktif dan adaptif. Berikut beberapa rekomendasi praktis:
- Pencegahan
Pendaftaran merupakan tindakan preventif paling penting. Pasal 3 UU MIG menegaskan bahwa hak atas merek diperoleh setelah merek tersebut terdaftar. Hal serupa juga berlaku untuk desain industri yang baru mendapatkan perlindungan setelah didaftarkan melalui DJKI.
Selain itu, bagi pemilik merek juga harus menyusun brand guideline yang jelas. Identitas merek, seperti palet warna khas, bentuk geometris tertentu, tipografi unik, dan karakter visual lain perlu didokumentasikan secara detail. Dokumentasi ini berfungsi sebagai alat bukti apabila suatu saat muncul desain generatif AI yang meniru karakter visual merek tersebut.
- Monitoring
Dikarenakan AI dapat menghasilkan ribuan desain dalam hitungan detik, risiko peniruan meningkat tajam. Maka, strategi monitoring perlu diperkuat dengan pemanfaatan platform berbasis AI untuk mendeteksi pelanggaran merek di internet. Misalnya, Mebiso sebagai platform perlindungan merek berbasis AI telah diakui sebagai inovasi dalam monitoring merek.
Selain itu, penting untuk berkonsultasi dengan konsultan HKI untuk dapat melakukan strategi pencegahan sebelum terjadi pelanggaran merek.
- Penegakan Hukum
Jika terjadi pelanggaran, pemilik merek dapat menempuh beberapa jalur hukum, baik melalui jalur administratif melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), gugatan perdata, atau ranah pidana.
Fenomena AI Clone Branding menunjukkan bahwa teknologi AI tidak hanya membawa kemudahan bagi industri kreatif, tetapi juga tantangan hukum yang kompleks bagi pemilik merek di Indonesia. Ketiadaan regulasi AI yang komprehensif menuntut pelaku usaha untuk bergantung pada aturan HKI yang telah ada dan menerapkannya dalam konteks baru.
Meskipun AI bukan subjek hukum, hasil kreativitasnya tetap dapat menyebabkan pelanggaran apabila meniru identitas merek tertentu. Oleh karena itu, strategi perlindungan merek harus bergerak dari sekadar pendaftaran ke arah pencegahan, monitoring digital, hingga penegakan hukum yang responsif.***
Baca juga: Jangan Sembarangan Pakai Foto Orang untuk Promosi, Pahami Aturan Penggunaan Foto Komersial!
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (“UU MIG”).
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (“UU Desain Industri”).
Referensi:
- Wendur, A. H. B., Waha, C. J. J., & Tinangon, E. N. (n.d.). Perlindungan Hukum Terhadap Hak kekayaan Intelektual di Era Digital dalam Penggunaan Artificial Intelligence. (Diakses pada 2 Desember 2025 pukul 09.10 WIB).
- Perplexity AI Digugat Mulai dari Pelanggaran Hak Cipta dan merek, Kok Bisa?. Smartlegal. (Diakses pada 2 Desember 2025 pukul 09.25 WIB).
- Menakar Pertanggungjawaban Artificial Intelligence. MARI News. (Diakses pada 2 Desember 2025 pukul 09.30 WIB).
- DJKI Waspadai Potensi Pelanggaran Kekayaan Intelektual oleh Teknologi AI. Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI). (Diakses pada 2 Desember 2025 pukul 10.10 WIB).
- Lindungi Merek Berbasis AI, Mebiso Raih Smart IP Platform of the Year 2025. Media Indonesia. (Diakses pada 2 Desember 2025 pukul 10.32 WIB).
