Persoalan royalti lagu dan musik di Indonesia belakangan tengah menjadi sorotan publik. Dalam beberapa bulan terakhir, polemik mengenai transparansi, keadilan, dan mekanisme penarikan royalti telah memicu keresahan di kalangan pelaku usaha, musisi, dan masyarakat umum. Tak sedikit pelaku usaha yang awam pun merasa bingung, apakah memutar lagu di restoran, kafe, atau bahkan acara pribadi bisa dianggap melanggar hukum? Di sisi lain, para pencipta lagu menuntut hak ekonomi yang layak atas karya mereka yang digunakan secara luas di ruang publik. 

Situasi ini semakin rumit dengan mencuatnya sejumlah kasus viral, termasuk tagihan royalti bernilai fantastis yang dikenakan kepada pelaku usaha. Fenomena tersebut memicu pertanyaan mendasar mengenai apa saja tempat yang wajib membayar royalti menurut aturan yang berlaku?

Tempat yang Wajib Membayar Royalti Lagu/Musik

Dalam praktiknya, pemutaran lagu dan musik di ruang publik bukan lagi sekadar pelengkap suasana, melainkan bagian integral dari strategi bisnis. Musik digunakan untuk menciptakan atmosfer yang nyaman, menarik pelanggan, hingga membentuk citra merek. Namun, penggunaan karya cipta secara komersial membawa konsekuensi hukum yang tidak bisa diabaikan. Ketika lagu digunakan untuk mendukung aktivitas usaha, maka muncul kewajiban untuk memberikan kompensasi kepada pencipta atau pemegang hak cipta melalui mekanisme royalti.

Sayangnya, banyak pelaku usaha yang belum memahami batasan antara penggunaan pribadi dan komersial. Akibatnya, tidak sedikit yang terjebak dalam sengketa atau tagihan royalti yang mengejutkan. Padahal, regulasi telah menetapkan secara rinci jenis tempat dan kegiatan yang termasuk dalam kategori wajib bayar royalti. Pemahaman yang utuh terhadap daftar ini menjadi kunci untuk menghindari pelanggaran hak cipta sekaligus membangun ekosistem musik yang adil dan berkelanjutan.

Menurut Pasal 3 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik (PP 56/2021), dijelaskan bahwa setiap orang yang melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial wajib membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Berikut adalah daftar tempat dan kegiatan yang diwajibkan membayar royalti:

  1. Seminar dan konferensi komersial;
  2. Restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, dan diskotek;
  3. Konser musik;
  4. Pesawat udara, bus, kereta api, dan kapal laut;
  5. Pameran dan bazar;
  6. Bioskop;
  7. Nada tunggu telepon;
  8. Bank dan kantor;
  9. Pertokoan;
  10. Pusat rekreasi;
  11. Lembaga penyiaran televisi;
  12. Lembaga penyiaran radio;
  13. Hotel, kamar hotel, dan fasilitas hotel; dan
  14. Usaha karaoke. 

Kewajiban pembayaran royalti muncul ketika lagu atau musik digunakan sebagai bagian dari strategi komersial. Artinya, jika sebuah karya musik diputar untuk menciptakan suasana yang nyaman, menarik perhatian pelanggan, atau mendukung aktivitas usaha yang menghasilkan keuntungan ekonomi, maka penggunaannya tidak lagi bersifat pribadi, melainkan komersial. Musik yang diputar di restoran untuk memperkuat ambience, di pusat perbelanjaan untuk meningkatkan kenyamanan pengunjung, atau dalam seminar berbayar untuk mendukung presentasi, semuanya termasuk dalam kategori penggunaan yang dikenai royalti. 

Bahkan elemen yang tampak sepele seperti nada tunggu telepon perusahaan atau musik latar di toko retail pun masuk dalam ruang lingkup ini. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan hak cipta tidak hanya berlaku pada pemanfaatan besar-besaran, tetapi juga pada penggunaan yang bersifat rutin dan tersebar luas, selama tujuannya berkaitan dengan aktivitas ekonomi. Namun, Undang-Undang juga mengatur pengecualian tempat yang tidak wajib membayar royalti pemutaran lagu atau musik di ruang publik.

Baca juga: Kreator Wajib Tahu, Ini Pentingnya Pahami Mechanical Rights Sebelum Remix Lagu Milik Orang Lain

Pengecualian Tempat dan Aktivitas Non-Royalti

Meski aturan royalti bersifat ketat, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU HC) memberikan pengecualian tertentu yang dianggap sebagai “fair use” atau penggunaan yang wajar. Pasal 44 ayat (1) UU HC menyatakan bahwa penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau pengubahan suatu ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika dilakukan untuk tujuan:

  1. Pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah;
  2. Keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan peradilan;
  3. Ceramah yang hanya ditujukan untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
  4. Pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran, dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta.

Contoh konkret dari pengecualian ini adalah pemutaran lagu dalam acara hajatan keluarga, ulang tahun, atau kegiatan sosial non-komersial. Menurut Prof. Ahmad M. Ramli, salah satu perancang UU Hak Cipta, menyanyi di rumah atau acara keluarga justru menjadi promosi gratis bagi pencipta lagu. Ia pun turut menegaskan bahwa UU Hak Cipta sebetulnya mendorong masyarakat untuk membawakan lagu sebanyak-banyaknya dalam konteks non-komersial.

Selain itu, lagu-lagu yang telah masuk ke dalam domain publik (public domain), yakni karya yang masa perlindungan hak ciptanya telah habis juga bebas digunakan tanpa kewajiban royalti. Lagu kebangsaan yang digunakan sesuai versi resmi pun termasuk dalam pengecualian

Di tengah ramainya perbincangan soal royalti lagu dan musik, masyarakat tidak perlu merasa khawatir selama penggunaan karya cipta dilakukan tanpa tujuan komersial. Menyanyikan lagu di rumah, memutar musik saat acara keluarga, atau menikmati lagu dalam lingkup pribadi bukanlah pelanggaran hak cipta. Justru, penggunaan semacam ini dapat menjadi bentuk apresiasi terhadap karya musisi, selama tidak dimanfaatkan untuk keuntungan ekonomi.

Sebaliknya, bagi pelaku usaha dan penyelenggara kegiatan komersial, pemahaman terhadap kewajiban royalti menjadi hal yang krusial. Musik yang digunakan untuk mendukung operasional bisnis, menarik pelanggan, atau menciptakan suasana di ruang publik harus dilisensikan secara sah dan dibayar sesuai ketentuan. Dengan memahami aturan dan mekanisme pembayaran royalti, pelaku usaha tidak hanya menghindari risiko hukum, tetapi juga turut membangun ekosistem musik yang berkelanjutan dan menghargai hak para pencipta. Menggunakan musik secara bertanggung jawab adalah wujud komitmen terhadap etika bisnis dan perlindungan kekayaan intelektual.***

Baca juga: Memahami Royalti Musik untuk Tempat Usaha, Hindari Jerat Pidana dengan Langkah Legal!

Pastikan usaha Anda tetap aman secara hukum dengan paham kewajiban royalti!

Konsultasikan langsung dengan Tim SIP-R Consultant untuk solusi HKI yang praktis dan sesuai dengan kebutuhan Anda!

Daftar Hukum:

  • Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik (PP 56/2021).
  • Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU HC). 

Referensi:

  • Jenis Lagu yang Bebas Royalti Menurut UU Hak Cipta, Ini Daftarnya. Kompas.com. (Diakses pada 1 September 2025 pukul 15.02 WIB).
Translate »