Transisi menuju energi bersih tidak lagi sekadar wacana lingkungan saja, melainkan telah menjadi “arena kompetisi” antarnegara. Di kawasan ASEAN, target net zero emission dan komitmen pembangunan berkelanjutan mendorong negara-negara anggotanya berlomba mengembangkan teknologi hijau (green technology), mulai dari energi terbarukan, efisiensi energi, kendaraan listrik, hingga pengelolaan limbah berbasis inovasi. Dalam hal ini, paten memainkan peran krusial sebagai instrumen perlindungan sekaligus indikator daya saing inovasi nasional.
Indonesia, sebagai negara dengan potensi energi terbarukan terbesar di ASEAN menghadapi tantangan ganda, yakni mendorong inovasi teknologi hijau di dalam negeri sekaligus memastikan inovasi tersebut terlindungi secara hukum. Lonjakan permohonan paten teknologi hijau yang terjadi dalam satu dekade terakhir pun menandai pergeseran paradigma pembangunan, dari eksploitasi sumber daya alam, menuju ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy). Namun pertanyaannya adalah, sejauh mana sistem paten di Indonesia mampu menopang ambisi Indonesia dalam race menuju energi bersih 2030, khususnya di tengah persaingan ketat dengan negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand?
Lonjakan Paten Teknologi Hijau dan Kebijakan Green Patent Incentive
Paten teknologi hijau secara global menunjukkan tren peningkatan yang signifikan pasca Paris Agreement 2015. Lonjakan paten hijau di Asia Tenggara sejalan dengan meningkatnya investasi energi terbarukan. Laporan Kompas mencatat bahwa investasi hijau di kawasan Asia Tenggara melonjak hingga 43% (empat puluh tiga persen) pada 2025, dengan sektor tenaga surya dan pengolahan limbah sebagai motor utama. Indonesia sendiri menyumbang sekitar 25% (dua puluh lima persen) investasi energi hijau di ASEAN.
Di Indonesia, peningkatan paten teknologi hijau tidak terlepas dari kebijakan negara yang mulai mengintegrasikan aspek keberlanjutan dalam sistem kekayaan intelektual. Salah satu pendekatan yang berkembang adalah green patent incentive, yakni insentif khusus bagi pemohon paten yang invensinya berkontribusi pada perlindungan lingkungan dan mitigasi perubahan iklim. Insentif ini dapat berupa percepatan pemeriksaan paten (fast-track examination), pengurangan biaya permohonan, hingga prioritas komersialisasi. Beberapa ciri dari teknologi hijau antara lain:
- Berkelanjutan (sustainable);
- Menggunakan sumber alam yang terbarui (reclaimed);
- Menghasilkan produk yang bermanfaat kembali (re-used);
- Mengurangi produk limbah dan bahan pencemaran;
- Menggunakan proses terdaur ulang (recycle);
- Inovatif tidak berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan;
- Menciptakan kegiatan dan produk yang bermanfaat bagi lingkungan atau dapat melindungi bumi.
Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Indonesia menunjukkan bahwa penerapan skema green patent incentive berpotensi meningkatkan minat perusahaan di sektor kendaraan listrik (electric vehicle/EV) untuk mendaftarkan patennya di dalam negeri. Skema serupa telah lebih dahulu diterapkan di Canada dan Republik Rakyat China (RRC), dengan hasil peningkatan signifikan pada paten energi bersih. Indonesia sendiri mulai mengadopsi pendekatan ini melalui kebijakan administratif di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), meskipun belum secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang.
Dalam perspektif hukum paten di Indonesia yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 65 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (“UU Paten 2024”) teknologi hijau tetap tunduk pada prinsip dasar paten, yakni kebaruan (novelty), langkah inventif (inventive step), dan dapat diterapkan dalam industri (industrial applicability), sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (“UU Paten”). Artinya, meskipun berlabel “hijau”, suatu teknologi tidak serta-merta memperoleh perlindungan paten tanpa memenuhi standar substantif tersebut.
Pentingnya Pendaftaran Paten untuk Teknologi Hijau
Pendaftaran paten bukan sekadar formalitas hukum, melainkan strategi ekonomi dan geopolitik, apalagi dalam persaingan kompetisi menuju net zero emission di Asia Tenggara. Negara yang mampu melindungi teknologi hijaunya secara efektif akan memiliki posisi yang lebih kuat dalam rantai pasok global energi bersih, termasuk dalam kerja sama investasi dan alih teknologi.
Bagi inventor dan pelaku usaha di Indonesia, pendaftaran paten memberikan hak eksklusif untuk melaksanakan invensi selama jangka waktu tertentu, yaitu 20 tahun untuk paten dan 10 tahun untuk paten sederhana. Hak eksklusif ini mencakup larangan bagi pihak lain untuk membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, atau menyewakan produk atau proses yang dipatenkan tanpa izin pemegang paten. Dalam sektor teknologi hijau yang padat modal dan berisiko tinggi, kepastian hukum ini menjadi kunci keberlanjutan investasi.
Lebih jauh, paten juga berfungsi sebagai aset tidak berwujud (intangible asset) yang bernilai ekonomi tinggi. Banyak perusahaan energi terbarukan global menjadikan portofolio paten sebagai dasar valuasi bisnis, jaminan pembiayaan, hingga objek lisensi lintas negara. Tanpa pendaftaran paten, inovasi teknologi hijau berisiko ditiru atau bahkan dipatenkan lebih dahulu oleh pihak asing, terutama di negara dengan sistem pendaftaran first to file seperti Indonesia.
Secara nasional, pendaftaran paten teknologi hijau juga sejalan dengan agenda pembangunan berkelanjutan dan target bauran energi nasional. Dengan meningkatnya paten lokal, Indonesia tidak hanya menjadi pasar teknologi hijau, tetapi juga produsen dan pemilik teknologi. Hal ini penting untuk menghindari ketergantungan jangka panjang pada teknologi impor yang kerap disertai biaya lisensi tinggi dan pembatasan penggunaan.
Baca juga: Paten Sederhana: Strategi Perlindungan Inovasi untuk UMKM dan Startup di Era Digital
Tata Cara Pendaftaran Paten Menurut DJKI
Secara normatif, tata cara pendaftaran paten di Indonesia diatur dalam UU Paten serta peraturan pelaksananya. DJKI sebagai otoritas paten nasional menyediakan mekanisme pendaftaran yang terstruktur, baik secara manual maupun elektronik melalui sistem Online Single Submission (OSS).
Paten diberikan berdasarkan Permohonan yang diajukan oleh Pemohon atau Kuasanya kepada Menteri secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan membayar biaya, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2) UU Paten 2024. Lebih lanjut dalam Pasal 25 ayat (2) UU Paten 2024, dijelaskan bahwa permohonan paten harus dilampiri dengan:
- judul Invensi;
- deskripsi tentang Invensi;
- klaim Invensi;
- abstrak Invensi;
- gambar yang disebutkan dalam deskripsi yang diperlukan untuk memperjelas Invensi, jika Permohonan dilampiri dengan gambar;
- surat kuasa dalam hal Permohonan diajukan melalui Kuasa;
- dihapus;
- surat pengalihan hak kepemilikan Invensi dalam hal Permohonan diajukan oleh Pemohon yang bukan Inventor;
- surat bukti penyimpanan jasad renik dalam hal Permohonan terkait dengan jasad renik; dan
- surat pernyataan asal Sumber Daya Genetik dan/atau Pengetahuan Tradisional jika Invensi berkaitan dengan Sumber Daya Genetik dan/atau Pengetahuan Tradisional.
Permohonan paten baru dapat dilakukan melalui laman paten.dgip.go.id dan melampirkan sejumlah dokumen yang dipersyaratkan. Selanjutnya, dokumen permohonan akan diperiksa secara administratif dalam waktu 14 hari. Jika dokumen dinyatakan lengkap, maka proses akan berlanjut ke tahap masa tunggu selama 18 bulan. Selama masa tunggu, permohonan akan diumumkan selama 6 bulan untuk memberikan kesempatan pada pihak ketiga yang mungkin memiliki keberatan atas permohonan tersebut. Namun, jika tidak ada keberatan, permohonan akan masuk ke tahap pemeriksaan substantif yang berlangsung selama 30 bulan.
Pada tahap pemeriksaan substantif, substansi mengenai permohonan paten akan diperiksa oleh tim ahli untuk menilai apakah invensi tersebut memenuhi syarat paten, yaitu baru, mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri. Jika permohonan disetujui, maka paten akan diberikan dan sertifikat paten akan diterbitkan dalam waktu 2 bulan. Namun jika permohonan ditolak, pemohon dapat mengajukan banding dan jika banding diterima, permohonan akan dilanjutkan ke tahap penerbitan paten. Jika ditolak, pemohon masih dapat mengajukan ke pengadilan.
Jika kamu sedang mengembangkan teknologi hijau, mendaftarkan paten adalah langkah cerdas yang membangun pondasi bagi pertumbuhan inovasi yang berkelanjutan. Perlindungan hukum ini bukan hanya menjaga hak atas invensi, tetapi juga membuka peluang komersialisasi, kolaborasi strategis, dan meningkatkan daya saing perusahaan dalam jangka panjang.***
Baca juga: Sengketa Pelanggaran Paten dan Mekanisme Penegakan Hukumnya di Indonesia
Ingin memastikan inovasi teknologi hijau Anda terlindungi secara hukum dan siap bersaing di tingkat ASEAN?
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (“UU Paten”).
- Undang-Undang Nomor 65 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (“UU Paten 2024”).
Referensi:
- Peluang Indonesia di Tengah Lonjakan Investasi Hijau Asia Tenggara. Kompas.com. (Diakses pada 16 Desember 2025 pukul 14.40 WIB).
- Investasi Energi Hijau, RI Kontribusi 25% di ASEAN. CNBC. (Diakses pada 16 Desember 2025 pukul 14.55 WIB).
- Ginting, N. T. (2008). Mitigasi dan Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Melalui Penerapan Teknologi Hijau. Jurnal Pemukiman, Vol.3 No. 2, 129–136. (Diakses pada 16 Desember 2025 pukul 15.17 WIB).
- Sondakh, S. R. (2023). Kebijakan Green Patent Incentive Sebagai Upaya untuk Mempercepat Proses Pendaftaran Paten Invensi Kendaraaan Bermotor Listrik (Electric Vehicle) di Indonesia. Skripsi Universitas Indonesia. (Diakses pada 16 Desember 2025 pukul 15.21 WIB).
- Syarat dan Prosedur Paten. Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI). (Diakses pada 16 Desember 2025 pukul 15.40 WIB).
