Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) di bawah Kementerian Hukum RI mencatat sebanyak 296 (dua ratus sembilan puluh enam) kasus pelanggaran kekayaan intelektual terjadi dalam kurun waktu 2019 hingga 2025. Berdasarkan data rekapitulasi, pelanggaran terbanyak terjadi pada bidang merek dengan 163 kasus, diikuti dengan hak cipta sebanyak 87 kasus, dan paten sebanyak 21 kasus. Sisanya menyangkut pelanggaran di bidang desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu (DTLST), dan rahasia dagang.
Seiring dengan kemajuan era digital, pelanggaran hak cipta menjadi salah satu tantangan serius bagi para kreator di berbagai bidang. Karya musik, tulisan, desain grafis, film, bahkan konten digital seperti video YouTube dan postingan media sosial kerap kali dibajak dan dipergunakan tanpa izin pemilik aslinya. Pembajakan tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga mengurangi penghargaan terhadap kerja keras dan kreativitas seseorang. Sayangnya, banyak pemilik karya belum memahami bagaimana melindungi hasil ciptaannya secara hukum, serta langkah-langkah apa saja yang bisa dilakukan ketika karya mereka digunakan tanpa izin.
Sebelumnya, Apa Saja Bentuk Aktivitas yang Termasuk Pelanggaran Hak Cipta?
Untuk memahami kapan sebuah tindakan dianggap sebagai pelanggaran hak cipta, kita harus terlebih dahulu mengetahui hak apa saja yang dimiliki oleh pencipta atau pemegang hak cipta. Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU HC”) hak cipta merupakan hak eksklusif yang terdiri dari hak moral dan hak ekonomi.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Hak Cipta, hak moral merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri Pencipta untuk:
- Tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian Ciptaannya untuk umum;
- Menggunakan nama aliasnya atau samarannya;
- Mengubah Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat;
- Mengubah judul dan anak judul Ciptaan; dan
- Mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan, mutilasi Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya.
Selain itu, Pencipta atau Pemegang Hak Cipta memiliki hak ekonomi yang diatur dalam Pasal 9 ayat (1) untuk melakukan:
- penerbitan Cptaan;
- Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
- penerjemahan Ciptaan;
- pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan;
- Pendistribusian Ciptaan atau salinannya;
- pertunjukan Ciptaan;
- Pengumuman Ciptaan;
- Komunikasi Ciptaan; dan
- penyewaan Ciptaan
Dengan demikian, apabila ada pihak lain yang melakukan salah satu kegiatan di atas tanpa izin dari pencipta, maka tindakan tersebut termasuk ke dalam kategori pelanggaran hak cipta. Misalnya, seseorang menggandakan novel digital untuk dijual kembali tanpa izin penulis, menggunakan karya pencipta dan tidak menyantumkan nama pencipta, atau mengunggah film bajakan ke internet agar bisa ditonton publik tanpa seizin rumah produksi (production house/PH), ketiga tindakan tersebut jelas termasuk pelanggaran terhadap hak moral dan hak ekonomi pencipta.
Umumnya, pelanggaran hak cipta didorong untuk mencari keuntungan finansial secara cepat dengan mengabaikan kepentingan para pencipta dan pemegang izin hak cipta. Faktor-faktor yang memengaruhi masyarakat untuk melanggar HKI antara lain:
- Pelanggaran HKI dilakukan untuk mengambil jalan pintas guna mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari pelanggaran tersebut;
- Para pelanggar menganggap bahwa sanksi hukum yang dijatuhkan oleh pengadilan selama ini terlalu ringan, bahkan tidak ada tindakan preventif maupun represif yang dilakukan oleh para penegak hukum;
- Ada sebagian masyarakat sebagai pencipta yang bangga apabila hasil karyanya ditiru oleh orang lain, namun hal ini sudah mulai hilang berkat adanya peningkatan kesadaran hukum terhadap HKI;
- Dengan melakukan pelanggaran, pajak atas produk hasil pelanggaran tersebut tidak perlu dibayar kepada pemerintah; dan
- Masyarakat tidak memperhatikan apakah barang yang dibeli tersebut asli atau palsu, yang penting bagi mereka harganya murah dan terjangkau dengan kemampuan ekonomi.
Pelanggaran hak cipta juga dapat terjadi dalam bentuk yang lebih “halus”, seperti mengunggah sebagian karya orang lain tanpa atribusi yang layak, atau menyebarkan ulang konten digital di media sosial tanpa izin. Meskipun terkadang hal ini tidak bermaksud jahat, namun tindakan semacam ini tetap dapat dikategorikan sebagai pelanggaran, apalagi jika tidak mendapat izin dari si empunya karya. Oleh karena itu, penting bagi setiap pengguna internet dan pelaku industri kreatif untuk memahami bahwa karya cipta bukan hanya hasil ekspresi, tetapi juga objek perlindungan hukum.
Baca juga: Peran Hak Cipta dalam Mendukung Industri Kreatif dan Ekonomi Digital
Lalu, Apa Saja Langkah Hukum yang Bisa Ditempuh?
Setelah mengetahui bentuk sengketa, pencipta atau pemegang hak cipta dapat memutuskan apakah ingin menyelesaikan masalah tersebut secara damai melalui alternatif penyelesaian sengketa, seperti mediasi, negosiasi, atau konsiliasi, melalui arbitrase, atau melalui pengadilan. Jika penyelesaian sengketa yang dipilih melalui pengadilan, pencipta atau pemegang hak cipta dapat memilih untuk mengajukan gugatan ganti rugi (perdata) atau menyelesaikannya secara pidana. Pengadilan Niaga adalah satu-satunya pengadilan yang berwenang dalam mengadili sengketa hak cipta sesuai dengan Undang-Undang.
- Jalur Perdata
Pencipta atau pemegang hak cipta dapat menempuh gugatan perdata terhadap pihak yang melanggar hak cipta. Berdasarkan UU Hak Cipta, Pencipta, pemegang Hak Cipta dan/atau pemegang Hak Terkait atau ahli warisnya berhak mengajukan gugatan ganti rugi ke Pengadilan Niaga apabila hak ekonominya dilanggar. Gugatan ini bisa berupa permintaan:
- Ganti rugi atas kerugian materiil dan immateriil;
- Penghentian peredaran, penggandaan, atau pengumuman karya yang dibajak;
- Penarikan kembali karya bajakan dari pasaran;
- Permintaan maaf secara terbuka atau tertulis.
Dalam hal ini, sebagaimana dijelaskan pada Pasal 106 UU Hak Cipta, atas permintaan pihak yang merasa dirugikan karena pelaksanaan Hak Cipta atau Hak Terkait, Pengadilan Niaga dapat mengeluarkan penetapan sementara untuk:
- Mencegah masuknya barang yang diduga hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait ke jalur perdagangan;
- Menarik dari peredaran dan menyita serta menyimpan sebagai alat bukti yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait tersebut;
- Mengamankan barang bukti dan mencegah penghilangannya oleh pelanggar; dan/atau
- Menghentikan pelanggaran guna mencegah kerugian yang lebih besar.
- Jalur Pidana
Selain gugatan perdata, pelanggaran hak cipta juga dapat dikenakan sanksi pidana. Berdasarkan Pasal 113 ayat (1)-(4) UU Hak Cipta, seseorang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan pelanggaran terhadap hak ekonomi pencipta dapat dikenakan hukuman penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda hingga Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Sanksi pidana ini berlaku untuk pelanggaran yang dilakukan secara komersial, seperti menjual barang bajakan, mendistribusikan ciptaan tanpa izin, atau mengunggah konten ke platform digital untuk mendapatkan keuntungan. Pasal 120 UU Hak Cipta mengatur:
“Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini merupakan delik aduan.”
Sebagai contoh, seseorang yang memperbanyak dan menjual film bajakan di pasar atau platform daring dapat dipidana karena secara langsung merugikan produser dan pihak lain yang memiliki hak ekonomi atas karya tersebut. Proses pidana dimulai dengan pelaporan ke kepolisian, dilanjutkan dengan penyelidikan dan penyidikan. Jika cukup bukti, kasus akan dilimpahkan ke kejaksaan dan pengadilan pidana. Dalam beberapa kasus, pidana dapat ditempuh jika upaya perdata tidak membuahkan hasil atau pelanggaran terus berlanjut.
Sebagai pencipta, Anda memiliki hak eksklusif atas karya yang Anda hasilkan. Jangan biarkan pembajakan merusak integritas dan nilai ekonomi ciptaanmu. Apabila karya Anda dibajak, bertindaklah dengan tegas dan terukur. Dokumentasikan pelanggaran, konsultasikan dengan ahli, dan tempuh jalur hukum yang tersedia.
DJKI selaku otoritas yang berwenang dalam perlindungan kekayaan intelektual di Indonesia pun mengajak masyarakat untuk lebih proaktif dalam melaporkan pelanggaran KI. Adapun laporan dapat disampaikan melalui situs resmi DJKI di www.dgip.go.id melalui fitur pelaporan, ataupun melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk pemblokiran situs atau akun pelanggar di lokapasar atau media sosial.***
Baca juga: Bagaimana Cara Menghasilkan Uang dari Hak Cipta?
Lindungi hak ciptamu dan tangani pembajakan dengan tepat!
Dapatkan dukungan hukum dari profesional di SIP-R Consultant.
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU HC”).
Referensi:
- Pelanggaran Kekayaan Intelektual Capai 296 Kasus dalam Tujuh Tahun, DJKI Perkuat Langkah Penegakan Hukum. Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI). (Diakses pada 15 Oktober 2025 pukul 14.02 WIB).
- Munawar, A., & Effendy, T. (2016). Upaya Penegakan Hukum Pelanggaran Hak Cipta Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Al-Adl: Jurnal Hukum, 8(2), 125–137. (Diakses pada 15 Oktober 2025 pukul 14.17 WIB).
- Wulandari, F. (2024). Problematika Pelanggaran Hak Cipta di Era Digital. Journal of Contemporary Law Studies, 2(2), 99–114. (Diakses pada 15 Oktober 2025 pukul 14.55 WIB).
- Kemenkum Sebut Pelanggaran KI di Indonesia Marak pada Era Digital. Antara News. (Diakses pada 15 Oktober 2025 pukul 15.13 WIB).
