Industri animasi Indonesia tengah mengalami lonjakan signifikan. Dari karya lokal seperti Nussa, Si Juki, Jumbo, animasi buatan anak bangsa tak hanya meramaikan layar kaca nasional, tetapi juga mulai menembus pasar internasional. Kolaborasi kreatif antara animator Indonesia dan studio global seperti Pixar, DreamWorks, dan Netflix menjadi bukti bahwa talenta lokal memiliki daya saing tinggi di kancah dunia. Di balik pencapaian artistik tersebut, terdapat ekosistem yang semakin matang, mulai dari pendidikan animasi, dukungan teknologi, hingga komunitas kreatif yang aktif mendorong inovasi. Animasi bukan lagi sekadar hiburan, melainkan medium strategis untuk edukasi, promosi budaya, dan bahkan advokasi sosial.

Pertumbuhan industri animasi di Indonesia menunjukkan tren yang sangat positif. Berdasarkan riset dari Asosiasi Industri Animasi Indonesia (AINAKI), tercatat sekitar 120 studio animasi telah berdiri di Indonesia hingga tahun 2020. Jumlah ini terus meningkat seiring dengan perkembangan sektor kreatif. Dalam kurun waktu lima tahun (2015–2019), industri animasi nasional tumbuh sebesar 153 persen, dengan rata-rata pertumbuhan tahunan mencapai 26 persen. Angka ini mencerminkan potensi besar yang dimiliki animator sebagai pelaku ekonomi kreatif. Namun, di tengah euforia pertumbuhan, masih banyak tantangan yang dihadapi, terutama terkait perlindungan hukum atas karya animasi. Hak cipta, sebagai fondasi perlindungan kekayaan intelektual, menjadi isu krusial yang perlu dipahami dan ditegakkan oleh para animator agar karya mereka tidak hanya dikenal, tetapi juga dihargai secara adil.

Perlindungan Hak Cipta dalam Animasi di Indonesia

Animasi termasuk dalam kategori karya sinematografi yang dilindungi oleh hukum hak cipta di Indonesia. Menurut Pasal 40 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta), ciptaan yang dilindungi meliputi karya sinematografi yang termasuk di antaranya adalah film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun. 

Jadi, setiap bentuk animasi baik 2D, 3D, stop motion, maupun hybrid yang diwujudkan dalam bentuk visual bergerak dan memiliki narasi atau konsep kreatif, termasuk dalam kategori film kartun dan otomatis dilindungi oleh hak cipta. Ini berarti animator sebagai pencipta memiliki hak moral dan hak ekonomi atas karya tersebut, selama tidak dialihkan melalui kontrak atau perjanjian tertentu.

Hak cipta atas karya animasi timbul secara otomatis setelah karya diwujudkan dalam bentuk nyata, tanpa perlu pendaftaran formal. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 UU Hak Cipta, yang menyatakan definisi terkait hak cipta, yakni sebagai berikut: 

“Hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Namun, perlindungan hukum tidak hanya berhenti pada pengakuan formal. UU Hak Cipta juga memberikan hak kepada pencipta untuk menuntut pihak yang melakukan pelanggaran, seperti penggandaan ilegal, modifikasi tanpa izin, atau penggunaan komersial tanpa kontrak. Dalam animasi, pelanggaran ini sering terjadi melalui platform digital, seperti situs streaming ilegal atau penggunaan karakter animasi tanpa izin di produk komersial.

Praktik semacam ini tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga dapat merusak reputasi dan integritas karya animator sebagai pencipta. Oleh karena itu, sangat penting bagi animator untuk memahami hak-hak mereka secara menyeluruh dan mengambil langkah aktif dalam melindungi karya. 

Baca juga: Pelaku Industri Film Harus Paham Perlindungan Hak Cipta dalam Karya Sinematografimu!

Memahami Hak Moral dan Hak Ekonomi bagi Para Animator 

Sebagai pelaku utama dalam proses kreatif, animator memainkan peran penting dalam membentuk identitas visual dan naratif sebuah karya. Namun, di balik keahlian teknis dan artistik yang mereka miliki, terdapat hak-hak hukum yang sering kali terabaikan atau belum sepenuhnya dipahami. Dalam industri yang semakin kompleks dan berbasis kolaborasi, pemahaman terhadap hak moral dan hak ekonomi menjadi krusial, bukan hanya untuk melindungi karya, tetapi juga untuk memastikan bahwa kontribusi kreatif mereka diakui dan dihargai secara adil. Pembahasan berikut akan mengulas secara mendalam dua pilar utama perlindungan hak cipta bagi animator, yakni hak moral dan hak ekonomi.

  • Hak Moral: Identitas dan Integritas Pencipta

Hak moral adalah hak yang melekat secara abadi pada diri pencipta dan tidak dapat dialihkan selama pencipta masih hidup. Pasal 5 ayat (1) UU Hak Cipta menyebutkan bahwa pencipta berhak:

  1. Tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian Ciptaan untuk umum;
  2. Menggunakan nama aliasnya atau samarannya;
  3. Mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat;
  4. Mengubah judul dan anak judul Ciptaan; dan
  5. Mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya. 

Dalam industri animasi, hak moral sangat penting karena karya sering kali melibatkan kolaborasi tim dan proses adaptasi. Misalnya, seorang animator yang menciptakan karakter orisinal berhak menolak perubahan desain yang merusak makna atau estetika karakter tersebut. Hak moral juga melindungi reputasi animator dari penyalahgunaan karya yang dapat merugikan citra profesional mereka.

Menurut Agung Damar Sasongko, Direktur Hak Cipta DJKI, “Nama pencipta tidak boleh dihapus. Bahkan perubahan konten sekalipun harus seizin pembuat aslinya”. Ini menunjukkan bahwa hak moral bukan sekadar formalitas, tetapi bentuk penghormatan terhadap integritas kreator.

  • Hak Ekonomi: Manfaat Finansial dari Karya

Hak ekonomi adalah hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari ciptaan. Pasal 9 UU Hak Cipta menyebutkan berbagai bentuk hak ekonomi, antara lain:

  1. Penerbitan dan penggandaan ciptaan;
  2. Pendistribusian dan pertunjukan ciptaan;
  3. Penerjemahan dan pengumuman ciptaan;
  4. Komunikasi dan penyewaan ciptaan; atau pun
  5. Pengadaptasian, pengaransemenan, atau transformasi ciptaan.

Dalam praktiknya, hak ekonomi animator dapat diwujudkan melalui royalti, lisensi, kontrak kerja, atau penjualan IP (intellectual property). Namun, penting untuk membedakan antara pencipta dan pemegang hak cipta. Dalam banyak kasus, animator bekerja di bawah perusahaan atau studio yang memegang hak ekonomi atas karya yang mereka buat. Oleh karena itu, kontrak kerja harus secara jelas mengatur pembagian hak dan manfaat ekonomi.

Bony Wirasmono, CEO The Little Giant Studio, menekankan pentingnya perjanjian yang jelas dalam komersialisasi karya agar sengketa antara pencipta dan pemegang hak ekonomi bisa dihindari. Tanpa kontrak yang adil, animator berisiko kehilangan hak atas karya yang mereka ciptakan.

Memahami dan menegakkan hak cipta bagi animator bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Animator bukan sekadar pekerja seni, tetapi pencipta aset intelektual yang berkontribusi pada ekonomi kreatif nasional. Dengan memahami hak moral dan hak ekonomi, animator dapat melindungi karya mereka, membangun reputasi profesional, dan memperoleh manfaat finansial yang adil.***

Baca juga: Pahami Mechanical, Performance, dan Synchronization Rights untuk Lindungi Hak Cipta Karyamu

Amankan hak cipta animasimu, jangan biarkan karya lepas tanpa perlindungan. 

Libatkan konsultan HKI untuk strategi hukum yang tepat dan profesional.

Daftar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). 

Referensi:

Translate »