Di era digital yang berkembang pesat, pertumbuhan pemasaran online (digital marketing) telah menciptakan dinamika baru bagi pelaku usaha dan konsumen. Salah satu fenomena yang menjadi sorotan adalah praktik endorsement produk atau jasa oleh influencer di media sosial sebagai strategi pemasaran. Endorsement kini menjadi elemen penting dalam kampanye pemasaran produk, terutama di platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube yang mampu menjangkau jutaan pengguna secara instan. Namun, popularitas praktik ini juga menghadirkan tantangan hukum baru, terutama terkait dengan transparansi iklan, akurasi informasi produk, dan perlindungan konsumen.
Dalam hal ini, pelaku usaha dituntut untuk semakin berhati-hati dalam menyusun materi iklan dan bekerja sama dengan influencer, karena setiap klaim, testimoni, atau narasi promosi yang disampaikan kepada publik dapat menimbulkan konsekuensi hukum apabila dianggap menyesatkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Regulasi yang dulunya bersifat umum kini harus menyesuaikan dengan kompleksitas pemasaran digital yang semakin berkembang, sekaligus menegaskan bahwa iklan digital dan endorsement bukan sekadar strategi pemasaran, melainkan juga aktivitas hukum yang melekat dengan tanggung jawab hukum pelaku usaha.
Kewajiban Transparansi Endorsement dan Pengetatan Aturan Iklan Digital
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (“Permendag 31/2023”) merupakan bentuk pembaruan terhadap Permendag sebelumnya sebagai respons terhadap perkembangan teknologi dalam perdagangan elektronik.
Regulasi ini mengatur aspek perizinan usaha, periklanan, pembinaan, dan pengawasan pelaku usaha dalam perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) untuk menciptakan ekosistem e-commerce yang sehat, serta memberikan perlindungan lebih kuat kepada konsumen dan pelaku usaha domestik. Dalam hal ini, pelaku usaha turut bertanggungjawab atas iklan yang dilakukan oleh influencer yang mempromosikan produk atau jasanya. Ditegaskan dalam Pasal 27 Permendag 31/2023, bahwa:
“Pelaku Usaha yang membuat, menyediakan sarana, dan/atau menyebarluaskan Iklan Elektronik wajib memastikan substansi atau materi Iklan Elektronik yang disampaikan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan bertanggung jawab terhadap substansi atau materi Iklan Elektronik.”
Permendag 31/2023 juga menegaskan bahwa media sosial yang berperan sebagai platform jual-beli (social commerce) harus mematuhi aturan tertentu atau dilarang beroperasi tanpa izin resmi sebagai e-commerce. Hal ini berarti bahwa aktivitas promosi dan penjualan produk melalui platform digital tunduk pada pengawasan dan persyaratan hukum yang lebih ketat.
Regulasi tersebut juga mencerminkan adanya kebutuhan untuk menyatukan ruang digital dan platform perdagangan online melalui aturan yang jelas tentang bagaimana pelaku usaha harus beroperasi, termasuk tanggung jawab dalam iklan dan endorsement. Perubahan ini tidak hanya berdampak pada marketplace besar, tetapi juga pada influencer dan UMKM yang menggunakan platform digital sebagai kanal penjualan utama.
Selain aturan di bawah Kemendag, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Komdigi) juga sedang merumuskan pedoman terkait konten digital, termasuk tanggung jawab pelaku iklan dan influencer dalam menciptakan konten yang etis dan transparan. Meski belum berbentuk undang-undang tersendiri, pedoman ini menekankan bahwa setiap konten berbayar atau sponsored content harus diungkapkan secara jelas kepada publik. Hal ini selaras dengan prinsip bahwa konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai produk atau layanan yang ditawarkan.
Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha dan Influencer atas Klaim Produk
Dalam hukum Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU PK”) menjadi rujukan utama bagi perlindungan hak konsumen terkait promosi dan iklan, termasuk endorsement. Beberapa Pasal yang menjadi kunci bahwa pelaku usaha memiliki tanggung jawab hukum terkait iklan yang dipromosikan adalah sebagai berikut:
- Pasal 9 UU PK: melarang pelaku usaha menawarkan atau mempromosikan barang/jasa secara tidak benar atau seolah-olah barang tersebut memenuhi standar tertentu jika tidak benar adanya.
- Pasal 10 UU PK: melarang pembuatan atau penggunaan pernyataan palsu, menyesatkan, atau tidak lengkap dalam iklan yang dapat memengaruhi keputusan konsumen.
- Pasal 11 UU PK: melarang praktik yang dapat menyesatkan konsumen terkait karakteristik, kualitas, atau manfaat produk.
Ketentuan ini mewajibkan pelaku usaha, termasuk influencer sebagai bagian dari pelaku usaha periklanan untuk menyampaikan informasi yang benar dan tidak menyesatkan kepada konsumen. Jika tidak, maka pelaku usaha bisa dikenai sanksi administratif, perdata, maupun pidana sesuai ketentuan yang berlaku.
Larangan klaim berlebihan (over claim) berarti pelaku usaha dan influencer dilarang menyampaikan klaim tentang produk yang tidak memiliki dasar bukti ilmiah, sertifikasi, atau bukti legal lain, seperti klaim manfaat kesehatan tanpa izin BPOM, atau janji hasil instan yang tidak realistis. Ketidaksesuaian antara klaim promosi dengan fakta nyata dapat digolongkan sebagai iklan yang menyesatkan menurut UU PK, yang pada praktiknya dapat membuka potensi gugatan dari konsumen yang dirugikan.
Baca juga: Memahami Legalitas dan Langkah Mendapatkan Izin Usaha Dropshipping
Dampak Regulasi Ketat terkait Iklan bagi Bisnis Online
Praktik over claim dalam endorsement tidak hanya berisiko menyesatkan konsumen, tetapi juga menimbulkan konsekuensi hukum bagi influencer maupun pelaku usaha. Oleh karena itu, penting untuk memahami secara rinci bagaimana regulasi mengatur kewajiban transparansi, tanggung jawab hukum, serta dampak yang ditimbulkan terhadap bisnis online. Adapun uraian lebih lanjut mengenai dampak dari adanya regulasi ketat terkait iklan bagi pelaku usaha dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Adaptasi Strategi Pemasaran
Pemberlakuan aturan yang semakin ketat memaksa bisnis online untuk menata ulang strategi pemasaran digital mereka. Pelaku usaha dan influencer kini perlu memastikan bahwa iklan berbayar dicantumkan dengan jelas sebagai konten promosi, termasuk penggunaan tagar atau label seperti #Iklan atau #SponsoredContent, serta menyertakan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan. Ketentuan ini memberikan pengaruh terhadap cara negosiasi kontrak endorsement antara brand dan influencer serta struktur biaya yang terkait dengan transparansi konten
- Penurunan Risiko Hukum dan Penegakan Kepatuhan
Dengan adanya aturan yang lebih jelas, pelaku usaha dan influencer dapat mengurangi risiko hukum atas klaim produk yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kepatuhan terhadap aturan juga menjadi alat pertahanan hukum ketika terjadi sengketa dengan konsumen. Studi akademik menyarankan bahwa pengawasan regulasi dan edukasi hukum kepada influencer menjadi langkah penting agar praktik pemasaran digital tidak merugikan konsumen sekaligus meminimalkan risiko pelanggaran hukum.
- Pengaruh pada Kepercayaan Konsumen
Transparansi lebih tinggi dalam iklan dan endorsement berkontribusi pada peningkatan kepercayaan konsumen terhadap produk dan brand. Ketika konsumen merasa dilindungi oleh aturan yang kuat dan memiliki jalur hukum untuk menuntut haknya, tingkat keyakinan terhadap pembelian online cenderung meningkat. Sebaliknya, praktik endorsement yang tidak jujur dapat mengikis kepercayaan konsumen terhadap brand dan platform digital secara umum.
- Tantangan bagi UMKM dan Pelaku Usaha Kecil
Regulasi ketat juga menimbulkan tantangan bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) yang selama ini mengandalkan influencer sebagai strategi pemasaran. Biaya dan upaya untuk mematuhi aturan transparansi serta dokumentasi klaim produk bisa menjadi beban tersendiri, terutama jika UMKM belum memahami implikasi hukum sepenuhnya. Oleh karena itu, edukasi dan konsultasi dengan ahli hukum serta sumber daya pendukung menjadi aspek penting dalam membantu pelaku usaha kecil menavigasi lanskap hukum pemasaran digital yang kompleks.
Regulasi endorsement produk yang semakin ketat merupakan langkah penting dalam melindungi konsumen dan menjaga integritas bisnis online. Influencer dan pelaku usaha kini dituntut lebih bertanggung jawab atas klaim produk yang mereka promosikan. Meskipun menambah beban kepatuhan, regulasi ini pada akhirnya akan menciptakan ekosistem bisnis online yang lebih sehat, transparan, dan berkelanjutan.***
Baca juga: Era Hyper Lean Company di 2026: Virtual Office Tetap Terikat Legalitas dan Kewajiban Pajak
Pastikan setiap strategi endorsement dan iklan digital bisnis Anda patuh terhadap regulasi yang berlaku. Konsultasikan bisnis Anda bersama SIPR Consultant untuk melindungi bisnis dari risiko hukum di era digital yang semakin ketat!
Daftar Hukum:
- Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (“Permendag 31/2023”).
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU PK”).
Referensi:
- Zulhas Resmi Berlakukan Permendag 31/2023. Kementerian Perdagangan RI. (Diakses pada 16 Desember 2025 pukul 09.19 WIB).
- Kawendra Dorong Regulasi Tegas Terhadap Praktik Overclaim Produk dan Jasa. E-media DPR. (Diakses pada 16 Desember 2025 pukul 09.46 WIB).
- Widjaja, G., Abadi, S. A., Anggi, Y., Studi, P., Hukum, I., & Hukum, F. (2025). Tanggung Jawab Perdata Influencer terhadap Klaim Produk dalam Endorsement : Tinjauan Hukum Atas Perlindungan Konsumen Berdasarkan UU No . 8 Tahun 1999 dan Perkembangan Praktik Digital di Indonesia. Referendum: Jurnal Hukum Perdata Dan Pidana, 2. (Diakses pada 16 Desember 2025 pukul 10.24 WIB).
