Ketika sedang membuat konten untuk media sosial, menulis laporan untuk perusahaan, atau menyusun proposal bisnis menggunakan gambar, kutipan, atau musik dari sumber internet, tanpa sadar kita mungkin telah melanggar hak cipta. Padahal, kita tidak bermaksud untuk merugikan pihak mana pun, melainkan hanya ingin memperkaya kualitas karya, menambah nilai estetika, atau pun hanya ingin menyampaikan pesan yang lebih kuat. Namun, di balik kemudahan klik dan unduh, terdapat aturan hukum yang ketat mengenai hak cipta dan wajib dipatuhi. Hak cipta bukanlah sekadar formalitas legal, melainkan wujud penghormatan terhadap proses kreatif, kerja keras, dan identitas intelektual penciptanya.
Sayangnya, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya hak cipta belum terlalu besar. Banyak yang tidak menyadari bahwa di balik setiap karya yang kecil maupun besar, terdapat pencipta yang memiliki hak mutlak atas penggunaannya. Hal ini karena setiap ide yang dituangkan dalam bentuk nyata, baik melalui tulisan, musik, fotografi, dan sebagainya secara otomatis dilindungi oleh hak cipta. Hak cipta bukan sekadar tentang pengakuan, melainkan terdapat hak moral dan hak ekonomi yang melekat pada setiap ciptaan.
SIP-R Consultant akan membekali Rekan SIP-R dengan pemahaman mengenai penggunaan hak cipta secara legal melalui artikel berikut ini!
Memahami Batasan Penggunaan Hak Cipta Menurut Undang-Undang Hak Cipta
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU HC”) mendefinisikan hak cipta sebagai hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU HC. Hal ini berarti, sejak suatu karya diciptakan dan dituangkan secara nyata, misalnya dalam bentuk tulisan, gambar, lagu, program komputer, atau hal lainnya, pencipta langsung memperoleh perlindungan hukum tanpa perlu mendaftarannya terlebih dahulu.
Namun demikian, penggunaan hak cipta oleh pihak ketiga harus tunduk pada batasan-batasan tertentu. Pasal 9 ayat UU HC mengatur bahwa:
- Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan:
- Penerbitan Ciptaan;
- Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
- Penerjemahan Ciptaan;
- Pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan;
- Pendistribusian Ciptaan atau salinannya;
- Pertunjukan Ciptaan;
- Pengumuman Ciptaan;
- Komunikasi Ciptaan; dan
- Penyewaan Ciptaan.
- Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
- Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.
Meski begitu, UU HC juga mengakomodasi kepentingan publik melalui konsep penggunaan wajar atau fair use, sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (1) dan (2) UU HC yang berbunyi:
- Penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau pengubahan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan:
- Pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta;
- Keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan peradilan;
- Ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
- Pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
- Fasilitas akses atas suatu Ciptaan untuk penyandang tuna netra, penyandang kerusakan penglihatan atau keterbatasan dalam membaca, dan/atau pengguna huruf braille, buku audio, atau sarana lainnya, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap, kecuali bersifat komersial.
Dalam praktiknya, fair use sering menjadi dasar hukum dalam kasus cover lagu, penggunaan cuplikan film, atau modifikasi konten digital. Namun, pengguna tetap wajib mencantumkan sumber dan memastikan bahwa penggunaan tersebut tidak bersifat komersial atau merugikan pencipta secara substansial.
Akan tetapi, perlu dipahami bahwa yang dimaksud dengan “kepentingan yang wajar” adalah hak pencipta untuk menikmati manfaat ekonomi dari ciptaannya. Jika penggunaan karya cipta mengganggu potensi pasar atau nilai ekonomi ciptaan, maka meskipun tujuannya non-komersial, tetap bisa dianggap sebagai pelanggaran.
Baca juga: Jerat Hukum Pelanggaran Hak Cipta Remix Lagu Tanpa Izin
Waspada Pelanggaran Akibat Penggunaan Hak Tanpa Izin
Salah satu bentuk pelanggaran yang paling umum terjadi di era digital adalah penggunaan karya cipta tanpa izin pemilik hak. Hal ini dapat berupa penggunaan musik latar dalam video, penggunaan lagu untuk tujuan komersial, pemakaian audio visual tau cuplikan film untuk memperoleh keuntungan ekonomi, atau pun penggandaan software tanpa lisensi. Pelanggaran semacam ini tidak hanya berisiko hukum, tetapi juga merusak reputasi pribadi maupun bisnis.
Bahkan di tahun 2019, Business Software Alliance (BSA) memaparkan bahwa tingkat penggunaan software bajakan di Indonesia terbilang besar jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara, yakni sekitar 83% (delapan puluh tiga persen). Kondisi ini bahkan memantik Kasubdit Pencegahan dan Penyelesaian Sengketa Direktorat Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa DJKI Kemenkumham yang menentang tegas pemilik bisnis untuk menggunakan software ilegal. Menurutnya, software yang tidak berlisensi memang menggiurkan di awal, tetapi pada akhirnya akan merugikan bisnis yang tengah dijalankan.
Pelanggaran hak cipta tentu saja akan merugikan pemilik usaha, sebab UU HC telah mengatur secara tegas praktik-praktik pelanggaran hak cipta yang akan merugikan Pencipta atau Pemilik Hak Cipta, baik dari segi moral maupun ekonomi, terlebih jika hal tersebut dilakukan untuk tujuan komersial. Menurut Pasal 113 UU HC, pelanggaran dapat dikenakan sanksi pidana, yaitu:
- Hukuman penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar untuk pelanggaran atas hak moral dan hak ekonomi.
- Hukuman penjara hingga 10 tahun dan denda sampai Rp4 miliar jika pelanggaran dilakukan secara komersial.
Pada prinsipnya, pengecualian terhadap hak cipta memiliki batasan tertentu yang wajib dihormati. Terdapat prinsip ekonomi yang tidak boleh dikompromikan, bentuk dan karakter asli dari ciptaan yang tak seharusnya dimodifikasi, serta kepentingan pemegang hak cipta yang harus tetap dijaga. Dengan adanya batasan yang tegas terhadap pengecualian hak cipta, maka konsep “fair use” (penggunaan wajar) dapat disetarakan dengan asas kepatutan dalam sistem hukum kekayaan intelektual di Indonesia.***
Baca juga: Mengupas Kasus Pelanggaran Hak Cipta di Indonesia dan Dampak Hukumnya
Pastikan setiap konten usaha Anda bebas pelanggaran!
Konsultasikan dengan konsultan HKI sebelum menggunakan karya cipta secara publik.
Lindungi bisnis Anda dari risiko hukum dengan menggunakan konten secara legal dengan pendampingan konsultan HKI.
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU HC”).
Referensi:
- Pasal 44 ayat (1) UU Hak Cipta tentang Fair Use. HukumOnline. (Diakses pada 9 Juli 2025 pukul 14.40 WIB).
- Fair Use vs Penggunaan yang Wajar dalam Hak Cipta. Binus University. (Diakses pada 9 Juli 2025 pukul 14.43 WIB).
- Menimbang Prinsip Fair Use dalam Kerangka Hak Cipta Nasional. HukumOnline. (Diakses pada 9 Juli 2025 pukul 14.47 WIB).
- Waduh, Perusahaan RI Doyan Pakai Software Bajakan. detik.com. (Diakses pada 9 Juli 2025 pukul 14.54 WIB).
- Perusahan Pakai Software Bajakan Siap-siap Diciduk Kemenkumham. Warta Ekonomi. (Diakses pada 9 Juli 2025 pukul 14.58 WIB).
