Pelanggaran hak cipta kerap terjadi di Indonesia, bahkan banyak contoh pelanggaran hak cipta yang terlihat di depan mata. Namun sayangnya pelanggaran itu diabaikan karena masih banyak orang yang tidak mengetahui atau tidak memahami akan hal ini. 

Sejumlah kasus pelanggaran hak cipta yang sering terjadi diantaranya kasus pembajakan atau penjiplakan lagu, film, atau buku. Padahal fungsi dari hak cipta adalah untuk melindungi karya yang telah diciptakan. 

Berdasarkan definisinya, hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Merujuk Pasal 40 Ayat (1) Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, ciptaan yang dilindungi terdiri atas:

  1. Buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya
  2. Ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;
  3. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
  4. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
  5. Drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
  6. Karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase;
  7. Karya seni terapan;
  8. Karya arsitektur;
  9. Peta
  10. Karya seni batik atau seni motif lain
  11. Karya fotografi\
  12. Potret
  13. Karya sinematografi 
  14. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi
  15. Terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modihkasi ekspresi budaya tradisional; 
  16. Kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya;
  17. Kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli; 
  18. Permainan video;
  19. Program Komputer.

Penyebab Terjadinya Pelanggaran Hak Cipta 

Perkembangan dunia internet yang begitu pesat menjadi salah satu pemicu maraknya pelanggaran hak cipta. Meskipun sebelum era digital pelanggaran hak cipta sudah pernah terjadi, namun dengan adanya internet orang akan semakin mudah mengakses berbagai informasi. Bahkan dengan kehadiran kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dikhawatirkan pelanggaran hak cipta akan semakin marak. 

Dengan adanya kemajuan teknologi digital pelaku akan sangat mudah untuk melakukan pelanggaran hak cipta dengan mendapatkan sejumlah keuntungan. Bahkan secara tidak sadar banyak masyarakat yang membantu hal ini dengan mengunduh lagu di situs tidak resmi, membeli buku bajakan, menggunakan software bajakan, menjiplak lagu, dan masih banyak lagi. 

Keuntungan yang menggiurkan terkadang membuat banyak orang menutup mata dan tetap melakukan pembajakan. Begitu juga konsumen yang tidak mengerti dan hanya tahu membeli dengan harga murah. Padahal para pelaku pelanggaran hak cipta dapat dijerat hukum pidana dan tuntutan ganti rugi hingga miliaran rupiah.

Pembatasan Pelanggaran Hak Cipta

Dilansir dari website Hukumonline.com, pembatasan yang dimaksud lazim dikenal sebagai fair use atau fair dealing. Hal tersebut diatur dalam Bab VI tentang Pembatasan Hak Cipta dari Pasal 43 sampai dengan Pasal 49 Undang-Undang No.28 Tahun 2014 yang mengatur hal-hal sebagai berikut, antara lain: 

  1. Jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan untuk keperluan pendidikan, keamanan dan penyelenggaraan pemerintahan, ceramah, pertunjukan, dan untuk memfasilitasi penyandang tuna netra (dalam bentuk huruf braille, audio, atau sarana lain) 
  2. Penggandaan sebanyak satu salinan program komputer yang dilakukan pengguna untuk keperluan penelitian, arsip, atau cadangan untuk mencegah kehilangan dan kerusakan, atau tidak dapat dioperasikan 
  3. Penggandaan untuk kepentingan pribadi sebanyak satu kali, kecuali penggandaan dalam bentuk karya arsitektur dalam bentuk bangunan, seluruh atau bagian yang substansial dari buku atau notasi musik, seluruh atau bagian substansial dari database dalam bentuk digital, dan program komputer.
  4. Pembuatan satu salinan ciptaan oleh perpustakaan sebanyak satu salinan yang tidak bertujuan komersial.
  5. Untuk tujuan informasi yang menyebutkan sumber dan nama pencipta secara lengkap dengan bentuk ciptaan berupa artikel, laporan peristiwa aktual, kutipan singkat dalam situasi tertentu, karya ilmiah, pidato, ceramah, atau ciptaan sejenis yang dapat disampaikan ke publik.
  6. Penggandaan sementara atas ciptaan dengan ketentuan dilaksanakan transmisi digital oleh pencipta secara digital dalam media penyimpanan, dilaksanakan dengan izin pencipta untuk mentransmisikan ciptaan, dan menggunakan alat yang dilengkapi mekanisme penghapusan salinan secara otomatis yang tidak memungkinkan ciptaan tersebut ditampilkan kembali. 
  7. Pengumuman, pendistribusian, komunikasi, dan/atau penggandaan atas segala sesuatu yang dilaksanakan oleh atau atas nama pemerintah, lambang negara, lagu kebangsaan, potret pemimpin negara, lembaga negara, atau kepala daerah dengan memperhatikan martabat dan kewajaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  8. Pembuatan dan penyebarluasan konten hak cipta melalui media teknologi informasi dan komunikasi yang bersifat tidak komersial dan/atau menguntungkan Pencipta atau pihak terkait, atau pencipta tersebut menyatakan tidak keberatan atas pembuatan dan penyebarluasan tersebut.

Contoh Kasus Pelanggaran Hak Cipta di Indonesia 

  1. Pada tahun 2021 terjadi kasus pelanggaran hak cipta terhadap lagu berjudul “Lagi Syantik”. Dalam putusannya MA menilai pelaku terbukti mengubah lirik lagu “Lagi Syantik” serta merekam, membuat video, dan mengunggahnya di akun YouTube, tanpa izin pihak produser yang menaungi pencipta lagu “Lagi Syantik”. Dalam putusannya Mahkamah Agung menghukum pelaku untuk membayar ganti kerugian sebesar Rp 300 juta. Majelis hakim menyatakan perbuatan para pelaku yang “mentransformasikan ciptaan, komunikasi ciptaan, tanpa hak dan tanpa izin merubah lirik, memproduksi dan menyebarluaskan lagu “Lagi Syantik” yang telah dimodifikasi, menggandakannya dalam bentuk elektronik/digital, pendistribusian hasil pelanggaran karya cipta melalui media sosial adalah bentuk pelanggaran hak cipta.
  2. Kasus pelanggaran hak cipta atas lagu “Halo Kuala Lumpur” yang diunggah oleh channel YouTube: Lagu Kanak TV. Lagu Halo Kuala Lumpur berbahasa Malaysia itu diduga melanggar hak cipta atas karya lagu “Halo, Halo Bandung” ciptaan Ismail Marzuki.   

Dikutip dari website DJKI (DGIP.go.id), karya cipta lagu Halo, Halo Bandung telah tercatat di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM dengan nomor permohonan EC00202106966.

Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (Dirjen KI) Min Usihen menegaskan, setiap orang atau pihak lain yang mengambil musik atau mengubah lirik lagu tanpa meminta izin dan tidak mencantumkan nama penciptanya, tindakan itu patut diduga sebagai bentuk pelanggaran hak cipta atas hak moral. 

Kemudian, apabila lagu tersebut diunggah ke platform digital tentunya tindakan itu juga akan merugikan pencipta dan pemegang hak cipta baik dari sudut pandang hak moral maupun hak ekonomi.

Indonesia menjadi salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden RI No. 18 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Berne Convention For The Protection Of Literary And Artistic Work dan telah diundangkan pada tanggal 7 Mei 1997. 

Mengacu pada ketentuan tersebut, karya cipta Halo, Halo Bandung ciptaan Ismail Marzuki secara otomatis dilindungi di seluruh negara anggota Konvensi Bern yang saat ini berjumlah 181 negara termasuk Malaysia. 

Kendati demikian, dalam upaya penegakan hukum terhadap pelanggaran hak cipta Konvensi Bern menyebutkan penggunaan azas independence of protection, yang artinya, perlindungan dan penegakan hukum Hak Cipta mengimplementasikan aturan hukum di negara di mana karya hak cipta tersebut dilanggar. 

“Untuk itu, jika pencipta atau pemegang hak cipta Indonesia ingin menegakkan hak cipta di negara lain, maka gugatan dilaksanakan berdasarkan dengan Undang Undang Hak Cipta di negara tersebut,” jelas Min.

Apabila pencipta atau pemegang hak ciptanya sudah meninggal dunia maka  ahli waris sebagai pemegang hak cipta memiliki hak eksklusif untuk melarang atau mengizinkan pihak lain dalam melaksanakan hak cipta miliknya. Namun apabila terjadi dugaan pelanggaran, penegakan hak cipta  seharusnya diawali dengan pendekatan alternative dispute resolution (ADR).

ADR adalah suatu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kata sepakat (konsensus) yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa baik tanpa ataupun dengan bantuan para pihak ketiga yang netral. 

Sebagai informasi, di Indonesia perlindungan hak cipta atas karya cipta lagu berlaku selama hidup pencipta ditambah 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia (Pasal 58 ayat 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta).

Baca Juga: HUKUM PLAGIARISME DALAM KARYA MUSIK DAN ANCAMAN PIDANANYA

Translate »
× Konsultasi Sekarang