Industri halal global tengah mengalami transformasi besar. Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, menargetkan diri menjadi pusat produksi halal internasional. Mulai Oktober 2026, sertifikasi halal akan berlaku penuh untuk berbagai produk konsumsi, termasuk makanan, minuman, kosmetik, hingga produk gaya hidup. Namun, muncul pertanyaan baru: apakah produk digital juga perlu sertifikasi halal?
Pertanyaan ini relevan di era digitalisasi, ketika layanan keuangan berbasis teknologi, e-commerce, dan kecerdasan buatan (AI) semakin memengaruhi ekosistem halal. Diskursus mengenai Halal Tech Product bukan hanya soal perangkat lunak, melainkan tentang jasa digital yang memfasilitasi transaksi halal dan memastikan kepatuhan terhadap regulasi.
Definisi Produk Halal dan Ruang Lingkup Produk Digital
Konsep produk halal di Indonesia memiliki landasan hukum yang kuat melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (“UU JPH”). Dalam Pasal 1 angka (1) UU JPH disebutkan:
“Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.”
Rumusan ini menegaskan bahwa cakupan produk halal tidak hanya terbatas pada barang konsumsi fisik, tetapi juga mencakup jasa. Namun, penting dicatat bahwa jasa tersebut menurut ketentuan turunannya diartikan sebagai layanan yang terkait langsung proses produk: penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan/atau penyajian, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal (“PP 42/2024”).
Pada PP turunan tersebut, disepakati ruang lingkup Jaminan Produk Halal (JPH) mencakup produk fisik maupun jasa yang relevan dengan proses bahan dan produk sebagaimana definisi di UU JPH. Kerangka hukum dan aturan implementasi menunjukkan bahwa fokus utama sertifikasi halal adalah pada produk akhir (barang) dan jasa yang terkait langsung proses produksi fisik, distribusi, dan penyajian, bukan pada produk digital secara eksklusif (seperti aplikasi, software, platform, atau layanan informasi) yang tidak memproduksi barang fisik.
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) secara jelas menegaskan bahwa laptop, ponsel, atau software tidak termasuk dalam kategori yang wajib disertifikasi halal. Pernyataan ini menunjukkan bahwa regulasi saat ini menargetkan kategori tradisional seperti makanan, minuman, kosmetik, obat, serta jasa terkait penyembelihan, pengelolaan, dan pendistribusian produk. Artinya, klaim bahwa “semua produk yang dijual lewat platform digital harus halal” adalah penafsiran yang melampaui maksud regulasi sekarang.
Produk Digital: Apakah Termasuk Wajib Sertifikasi Halal?
Pertanyaan yang sering muncul adalah apakah produk digital seperti aplikasi, perangkat lunak, atau sistem operasi termasuk dalam kategori wajib halal. Berdasarkan regulasi yang ada, jawabannya adalah tidak. Produk digital tidak termasuk dalam kategori barang konsumsi yang diatur dalam UU JPH.
Meskipun regulasi formal belum mengakomodir “software” atau layanan digital secara umum sebagai objek sertifikasi halal, perkembangan industri dan kebutuhan konsumen Muslim modern telah mendorong lahirnya konsep “Halal Tech”, yakni aplikasi, platform, dan layanan digital yang mendukung gaya hidup halal. Berikut beberapa area dengan potensi kuat:
- E-commerce Halal dan Marketplace Muslim-Friendly
Layanan e-commerce yang menawarkan barang konsumsi halal seperti makanan, kosmetik, obat, fashion muslim, memainkan peran penting dalam memperluas akses produk halal, terutama bagi konsumen di kota besar maupun daerah terpencil.
Sebagian platform juga mulai menunjukkan komitmen memberi informasi sertifikasi atau label halal untuk produk yang dijual. Namun banyak juga yang belum konsisten, terutama penjual UMKM kecil sering tidak mencantumkan keterangan halal ketika mengunggah produk ke platform.
Dengan demikian, layanan e-commerce dapat berperan sebagai “fasilitator produk halal”, bukan sebagai objek sertifikasi halal itu sendiri, tetapi sebagai medium distribusi sekaligus penggerak permintaan terhadap produk halal bersertifikat.
- Fintech dengan Berbasis Syariah
Dalam konteks keuangan syariah, layanan fintech syariah dan pembayaran digital berbasis syariah dapat dianggap bagian dari ekosistem halal. Sebagai contoh, digitalisasi membangun “ekosistem halal” end-to-end, dari produksi produk halal, distribusi, hingga transaksi pembayaran.
Dengan adopsi model syariah, layanan keuangan digital itu dapat mendukung gaya hidup halal tanpa melanggar prinsip syariat, meskipun layanan itu sendiri bukan barang konsumsi. Dalam konteks ini, kehalalan layanan fintech bukan berarti fintech wajib disertifikasi halal seperti makanan, tetapi bahwa layanan itu secara struktural mendukung transaksi halal (misalnya, tidak melibatkan riba, usury, atau transaksi haram).
- AI, Tech Platform, dan Sistem Digitalisasi Ekosistem Halal
Kemajuan teknologi seperti blockchain, sistem traceability, platform logistik digital, dan AI berpotensi menguatkan transparansi dan ketertelusuran rantai pasok halal, dari bahan baku, produksi, distribusi hingga ke tangan konsumen.
Contohnya, konsep “halal blockchain” memungkinkan pelacakan real-time seluruh rangkaian produksi dan distribusi, meningkatkan kepercayaan konsumen dan reputasi merek, serta meminimalisir risiko penipuan klaim halal.
Dalam kerangka tersebut, layanan digital dan teknologi tidak perlu diperlakukan sebagai objek sertifikasi halal sebagaimana produk konvensional, melainkan diposisikan sebagai infrastruktur penunjang dalam ekosistem halal yang lebih luas. Dengan demikian, konsep “Halal Tech Product” dipahami sebagai fasilitator atau penggerak yang mendukung proses, distribusi, dan tata kelola produk halal, bukan sebagai produk yang secara langsung menjadi subjek penilaian kehalalan.
Baca juga: Penting! Ini Syarat Peroleh Sertifikat Halal
Memahami Tantangan Penerapan “Halal Tech” di Indonesia
Transformasi digital dalam industri halal membawa peluang besar sekaligus tantangan yang kompleks. Indonesia, dengan populasi Muslim terbesar di dunia, memiliki ambisi untuk menjadi pusat industri halal global. Namun, ketika konsep Halal Tech mulai diterapkan, yakni teknologi dan layanan digital yang mendukung ekosistem halal, muncul sejumlah isu yang perlu dipahami secara mendalam agar penerapannya tidak sekadar simbolik, melainkan benar-benar efektif dan terpercaya.
- Kejelasan Regulasi dan Ruang Lingkup
Regulasi saat ini belum secara eksplisit mengatur sertifikasi halal untuk layanan digital secara umum. Fokus regulasi tetap pada produk fisik dan jasa terkait produksi/pendistribusian produk fisik.
Akibatnya, muncul multitafsir mengenai apakah layanan digital (misalnya, platform e-commerce, fintech, aplikasi AI) berpotensi wajib memperoleh sertifikat halal? Dan hal ini tentu membuat sebagian pelaku usaha serta konsumen bisa salah kaprah.
Tanpa kejelasan regulasi, pengembangan “Halal Tech Product” berisiko stagnan atau malah memunculkan klaim “halal” yang tidak valid yang bisa merusak kepercayaan konsumen.
- Label Halal Digital
Jika layanan digital berperan sebagai penghubung antara produk halal dan konsumen, maka sangat penting ada mekanisme transparansi data agar konsumen dapat memverifikasi bahwa produk yang mereka beli benar-benar bersertifikat halal. Ini termasuk pencantuman label halal digital, informasi sertifikat, asal usul produk, bahan baku, dan jalur distribusi.
Namun realitas menunjukkan banyak platform belum memprioritaskan hal ini: banyak penjual di e-commerce tidak mencantumkan informasi halal meskipun produk bersertifikat, atau malah menggunakan “self-declare” tanpa verifikasi resmi. Tanpa standar label halal digital, konsumen Muslim akan kesulitan membedakan antara klaim halal yang valid dan yang semata marketing.
Hal ini tentu melanggar hak konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 8 huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU PK”) yang mengatur bahwa:
“Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.”
- Tanggung Jawab Platform Digital dan Pelaku Usaha
Kalau platform digital hanya sebagai “tengah” (intermediary) yang memfasilitasi penjualan produk halal. Akan tetapi, siapa yang bertanggung jawab jika terjadi klaim halal palsu? Regulasi saat ini lebih menitik beratkan pada produsen sebagai pelaku usaha, bukan platform penyedia layanan distribusi/pemasaran.
Padahal, dalam praktik e-commerce atau marketplace, konsumen sering tidak tahu siapa sebenarnya produsen atau distributor, konsumen hanya melihat platform. Hal ini menimbulkan dilema: apakah platform harus ikut bertanggung jawab memastikan tiap produk yang dijual memenuhi kriteria halal? Dan jika ya, bagaimana mekanismenya?
- Kompleksitas Verifikasi dalam Rantai Pasok Global
Dalam ekosistem global dan digital, barang bisa berasal dari lintas negara dengan rantai pasok kompleks. Untuk memastikan produk benar-benar halal, mulai dari bahan baku, proses produksi, distribusi, hingga penyajian dibutuhkan sistem traceability yang handal. Teknologi seperti blockchain memang menawarkan solusi, tetapi implementasinya memerlukan infrastruktur, komitmen, dan regulasi pendukung. Tanpa itu, klaim halal bisa mudah dimanipulasi, dan kepercayaan konsumen bisa rusak.
Penerapan Halal Tech di Indonesia bukan sekadar soal teknologi, tetapi juga menyangkut transparansi, kepercayaan, dan tanggung jawab. Tantangan terbesar adalah bagaimana memastikan bahwa layanan digital benar-benar mendukung ekosistem halal, bukan sekadar menjadi gimmick pemasaran. Dengan regulasi yang jelas, komitmen platform digital, dan integrasi teknologi yang tepat, Indonesia berpeluang besar menjadi pionir dalam pengembangan Halal Tech di tingkat global.***
Baca juga: Aspek Penting Dalam Sertifikasi Halal
Pahami kewajiban sertifikasi halal untuk bisnis, konsultasikan dengan ahlinya di SIP-R Consultant!
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (“UU JPH”).
- Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal (“PP 42/2024”).
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU PK”).
Referensi:
- Smart Halal Ecosystem: Inovasi dan AI untuk Bisnis Halal Berkelanjutan. Inosi. (Diakses pada 12 Desember 2025 pukul 16.10 WIB).
- Halal Blockchain, Jaminan Halal di Era Digital. Halal MUI. (Diakses pada 12 Desember 2025 pukul 16.16 WIB).
- E-commerce dan Digitalisasi Pembiayaan Jadi Kunci Industri Halal di Indonesia. Bisnis.com. (Diakses pada 12 Desember 2025 pukul 16.24 WIB).
- IHW: E-commerce Wajib Sajikan Informasi Halal pada Layanan Produk. AntaraNews. (Diakses pada 12 Desember 2025 pukul 16.37 WIB).
