Perkembangan industri kecantikan di Indonesia telah tumbuh pesat dalam beberapa tahun terakhir. Dari produk lokal hingga internasional, pasar skincare kini menawarkan ribuan varian hasil inovasi bahan aktif. Tapi di tengah pesatnya pertumbuhan ini, muncul fenomena yang mengkhawatirkan di kalangan pelaku bisnis dan juga konsumen, yakni produk skincare white label yang menggunakan “Ghost Formula”, istilah yang merujuk pada formula atau komposisi bahan aktif yang disembunyikan atau tidak transparan dari pemeriksaan regulator dan publik, tetapi dijanjikan sebagai solusi instan bagi masalah kulit. Fenomena ini memicu kontroversi karena sejumlah produk gagal memenuhi persyaratan izin edar BPOM dan bahkan ditarik dari peredaran.

Permintaan konsumen terhadap produk yang efektif, dikombinasikan dengan strategi pemasaran agresif di media sosial, menjadi lahan subur bagi praktik ini. Sayangnya, di balik klaim kecantikan yang menarik, risiko kesehatan serius hingga pelanggaran regulasi bukanlah hal yang jarang ditemukan. Permasalahan ini bukan hanya soal etika pemasaran, tetapi juga soal perlindungan kesehatan masyarakat di bawah pengawasan BPOM sebagai regulator utama produk obat dan kosmetik di Indonesia.

 

Praktik “Ghost Formula” dalam Industri Skincare & Kosmetik

 

Fenomena ghost formula dalam industri skincare dan kosmetik merujuk pada praktik produksi dan pemasaran produk, umumnya berbasis white label, yang tidak mengungkapkan secara transparan komposisi bahan aktif sebenarnya kepada regulator maupun konsumen. Formula tersebut sering diklaim sebagai “rahasia”, “eksklusif”, atau bahkan “hasil riset internal”, namun dalam praktiknya kerap kali berbeda dengan komposisi yang didaftarkan ke BPOM atau bahkan sama sekali tidak tercantum secara lengkap pada label produk. Kondisi ini menciptakan ketidaksesuaian antara klaim, label, atau fakta formulasi produk yang beredar di pasar.

Model bisnis white label pada dasarnya tidak dilarang dalam industri kosmetik. Banyak pelaku usaha memanfaatkan jasa maklon atau pabrik pihak ketiga untuk efisiensi produksi. Permasalahan muncul ketika pemilik merek tidak memiliki kontrol penuh atas formula, atau secara sadar menyetujui penggunaan bahan tertentu yang tidak dicantumkan dalam dokumen pendaftaran BPOM. 

Dalam konteks ghost formula, pemilik merek sering kali hanya menerima “hasil jadi” tanpa pemahaman menyeluruh mengenai komposisi, stabilitas, dan keamanan bahan aktif yang digunakan. Akibatnya, saat dilakukan post-market oleh BPOM, ditemukan perbedaan antara formula yang didaftarkan dengan produk yang beredar. 

Praktik ini semakin marak seiring dengan tren pemasaran melalui media sosial, di mana klaim efektivitas produk sering kali diutamakan dibandingkan kepatuhan regulasi. Produk dengan janji hasil instan seperti “memutihkan kulit dalam 7 hari” atau “menghilangkan jerawat tanpa purging”, kerap diasosiasikan dengan penggunaan bahan aktif dosis tinggi atau bahkan bahan yang dibatasi dan dilarang dalam kosmetik. Dalam sejumlah temuan BPOM, kosmetik tanpa izin edar atau dengan komposisi tidak sesuai terbukti mengandung merkuri, hidrokuinon, atau kortikosteroid, yang dapat memberikan efek cepat tetapi berisiko serius bagi kesehatan kulit dan tubuh.

Dari perspektif regulasi, adanya praktik ghost formula juga mencerminkan ketidakpatuhan terhadap prinsip traceability dan accountability dalam rantai pasok kosmetik. BPOM menekankan bahwa setiap bahan yang digunakan dalam kosmetik harus dapat ditelusuri asal-usulnya, memiliki spesifikasi yang jelas, dan tercantum dalam notifikasi produk. Ketika formula “disembunyikan”, maka regulator tidak dapat menilai secara akurat aspek keamanan, mutu, dan manfaat produk. Inilah salah satu penyebab utama gagalnya produk memperoleh atau mempertahankan izin edar BPOM, meskipun secara pemasaran produk tersebut laris di pasaran.

Selain risiko hukum dan kesehatan, praktik ghost formula juga berdampak pada kepercayaan konsumen dan keberlanjutan industri kosmetik nasional. Pencabutan izin edar, penarikan produk dari peredaran, serta publikasi daftar kosmetik bermasalah oleh BPOM tidak hanya merugikan produsen tertentu, tetapi juga menciptakan stigma negatif terhadap merek lokal dan sistem white label secara keseluruhan. Dalam jangka panjang, praktik ini berpotensi menghambat pertumbuhan industri kosmetik yang sehat, inovatif, dan berdaya saing global. Oleh karena itu, transparansi formula, kepatuhan regulasi, dan pengawasan internal yang kuat menjadi kunci untuk menghindari jebakan ghost formula dalam bisnis skincare dan kosmetik. 

 

Regulasi Mengenai Izin Edar BPOM untuk Skincare

 

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) adalah lembaga pemerintah yang bertanggung jawab dalam mengawasi dan mengatur obat, makanan, suplemen, serta kosmetik yang beredar di Indonesia. Sebelum sebuah produk kosmetik boleh dipasarkan, produk tersebut wajib memiliki izin edar dari BPOM yang diterbitkan setelah proses evaluasi formal terhadap komposisi, keamanan, dan mutu produknya. 

Izin edar yang sah merupakan indikator bahwa produk telah memenuhi standar keamanan yang ditetapkan, serta dapat dipertanggungjawabkan klaimnya. BPOM menerbitkan kode notifikasi untuk setiap produk kosmetik yang lolos pendaftaran, yang harus dicantumkan pada label produk. Ketiadaan atau ketidaksesuaian nomor ini menjadi salah satu indikator utama bahwa produk tersebut tidak memenuhi persyaratan beredar.

Salah satu fungsi utama regulasi BPOM adalah memastikan bahwa label produk yang dicantumkan oleh pelaku usaha telah memuat komposisi bahan yang benar dan lengkap, sehingga konsumen memahami apa yang mereka gunakan, serta dapat menghindari bahan berisiko bagi kesehatan mereka. 

Dalam hal ini, pelaku usaha memiliki kewajiban penuh terhadap produk yang dijual, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan BPOM Nomor 18 Tahun 2024 tentang Penandaan, Promosi, dan Iklan Kosmetik (PerBPOM 18/2024) bahwa:

  1. Pelaku Usaha wajib menjamin Kosmetik yang diproduksi dan/atau diimpor untuk diedarkan di wilayah Indonesia telah memenuhi Penandaan, Promosi, dan/atau Iklan yang objektif, lengkap, dan/atau tidak menyesatkan.
  2. Pemenuhan terhadap Penandaan yang objektif, lengkap, dan tidak menyesatkan sebagaimana dimaksud dengan ayat (1) sesuai dengan ketentuan:
  1. Objek dilaksanakan dengan memberikan informasi sesuai dengan kenyataan yang ada dan tidak boleh menyimpang dari sifat keamanan dan kemanfaatan Kosmetik;
  2. Lengkap dilaksanakan dengan mencantumkan semua informasi yang dipersyaratkan; dan
  3. Tidak menyesatkan dilaksanakan dengan memberikan informasi yang jujur, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan, tidak boleh memanfaatkan kekhawatiran masyarakat akan suatu masalah kesehatan, serta tidak menyatakan seolah-olah sebagai obat atau bertujuan untuk mencegah suatu penyakit. 

Dalam Pasal 3 huruf d PerBPOM 18/2024 dijelaskan bahwa salah satu informasi yang harus dimuat dalam Penandaan berupa komposisi. Sementara itu, pada lembar lampiran diatur bahwa komposisi yang dicantumkan pada Penandaan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

  1. Sesuai dengan formula yang tercantum pada data notifikasi Kosmetik;
  2. Menggunakan nama Bahan Kosmetik sesuai dengan nama International Nomenclature of Cosmetic Ingredients (INCI), sesuai untuk Bahan Kosmetik yang belum ada nama INCI, dapat menggunakan nama lain sesuai dengan referensi yang berlaku secara internasional;
  3. Menggunakan nama genus dan spesies untuk Bahan Kosmetik yang berasal dari tumbuhan atau ekstrak tumbuhan. Contohnya: Pyrus Malus Juice, Camellia Sinensis Oil, dll.;
  4. Diurutkan mulai dari kadar terbesar sampai kadar terkecil, kecuali untuk Bahan Kosmetik dengan kadar kurang dari 1% dan/atau bahan pewarna dapat ditulis tidak berurutan, setelah Bahan Kosmetik lain dengan kadar lebih dari 1%.
  5. Bahan pewarna dicantumkan menggunakan nomor indeks pewarna (colour index/CI) atau nama bahan pewarna untuk yang tidak mempunyai nomor CI;
  6. Bahan pewangi atau bahan aromatis dapat menggunakan kata “parfum”, “parfume”, “fragrance”, “aroma”, atau “flavour”;
  7. Bahan pewarna yang digunakan dalam satu seri Kosmetik dekoratif dapat mencantumkan kata “dapat mengandung”, “may contain”, atau “+/-” pada Penandaan;
  8. Kosmetik mengandung bahan nanomaterial mencantumkan nama Bahan Kosmetik diikuti dengan keterangan “nano” di dalam tanda kurung. Contoh: Titanium dioxide (nano).

Pelaku usaha di bidang kosmetik dan skincare harus memahami bahwa keterbukaan informasi mengenai komposisi produk bukan hanya tuntutan etika, tetapi juga syarat mutlak untuk memperoleh dan mempertahankan izin edar resmi. Transparansi label, kejujuran dalam promosi, serta konsistensi formula dengan data notifikasi yang diajukan menjadi fondasi utama agar produk dapat lolos evaluasi regulator. 

Jika kewajiban ini diabaikan, risiko terbesar bukan hanya kegagalan izin edar, tetapi juga hilangnya kepercayaan konsumen dan reputasi merek. Dengan demikian, kepatuhan penuh terhadap standar penandaan dan keterbukaan komposisi harus dipandang sebagai investasi jangka panjang demi keberlangsungan usaha dan perlindungan kesehatan masyarakat.

Baca juga: Simak! Ini Pentingnya Izin Edar

 

Risiko dan Dampak Produk Tanpa Izin Edar BPOM

 

Produk skincare atau kosmetik yang beredar tanpa izin edar BPOM sangat berisiko bagi konsumen karena tidak terjamin keamanan dan mutunya. Banyak produk ilegal yang mengandung bahan berbahaya seperti merkuri, hidrokuinon, atau bahan lain yang dilarang yang bisa menyebabkan iritasi, alergi, kerusakan organ dalam, dan risiko kesehatan lain yang serius jika digunakan dalam jangka panjang.

Pencabutan izin edar 21 produk kosmetik yang dilakukan BPOM baru-baru ini karena komposisinya tidak sesuai juga menunjukkan bahwa adanya ketidaksesuaian bahan aktif yang tidak diumumkan dapat mengubah sifat produk secara signifikan dan berujung pada potensi efek negatif bagi konsumen.

Selain itu, produk yang diedarkan tanpa izin atau mengandung komposisi yang tidak sesuai dengan yang didaftarkan merupakan pelanggaran yang dapat dikenai sanksi administratif, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 PerBPOM 18/2024 berupa:

  1. Peringatan tertulis;
  2. Larangan mengedarkan Kosmetik untuk sementara paling lama 1 (satu) tahun;
  3. Penarikan Kosmetik dari peredaran;
  4. Pemusnahan;
  5. Penghentian sementara kegiatan;
  6. Pencabutan notifikasi Kosmetik; dan/atau
  7. Pengumuman kepada publik. 

Selain itu, konsumen memiliki landasan jelas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen). UU ini menegaskan hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai produk yang dibeli, termasuk komposisi dan izin edar. Pelanggaran atas hak ini dapat dikenakan sanksi pidana atau denda.

Fenomena Ghost Formula adalah cerminan lemahnya transparansi dalam industri skincare white label. Praktik ini berisiko tinggi gagal izin edar BPOM karena tidak memenuhi standar keamanan dan keterbukaan komposisi. Regulasi BPOM dan UU Kesehatan sudah jelas menegaskan kewajiban izin edar, dan pelanggaran dapat berakibat fatal bagi konsumen maupun pelaku usaha.

Untuk itu, brand skincare harus memastikan formula yang digunakan transparan, teruji, dan sesuai regulasi. Konsumen pun perlu lebih kritis dalam memilih produk dengan izin edar resmi BPOM sebagai jaminan keamanan.***

Baca juga: Pelaku Industri Rumah Tangga Wajib Tahu, Begini Cara Memperoleh SPP-IRT

 

Pastikan produk skincare Anda lolos izin edar BPOM dengan pendampingan profesional dari SIP-R Consultant!

 

Daftar Hukum:

  • Peraturan BPOM Nomor 18 Tahun 2024 tentang Penandaan, Promosi, dan Iklan Kosmetik (PerBPOM 18/2024). 
  • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen).

Referensi: 

  • Apa Bahaya Kosmetik dengan Kandungan Bahan Tidak Sesuai dengan yang Didaftarkan?. Kompas.id. (Diakses pada 23 Desember 2025 pukul 08.46 WIB). 
  • Cantik dengan Risiko Ancaman di Balik Kosmetik Ilegal. Direktorat Intelijen Obat dan Makanan. (Diakses pada 23 Desember 2025 pukul 08.59 WIB). 
  • Bagaimana Badan Pengawas Kosmetik Menjaga Kualitas Produk Kecantikan Anda. Badan Pengawas Farmasi dan Kosmetik Indonesia. (Diakses pada 23 Desember 2025 pukul 09.16 WIB). 
  • BPOM Rilis Daftar 54 Produk Skincare Berbahaya, Wajib Cek Izin Edar Sebelum Menggunakan. Kompas.com.  (Diakses pada 23 Desember 2025 pukul 09.44 WIB). 
  • BPOM Cabut 21 Izin Edar Kosmetik dengan Komposisi Tidak Sesuai dengan yang Didaftarkan. BPOM (Diakses pada 23 Desember 2025 pukul 10.02 WIB). 
Translate »